20 likes | 302 Views
Mental Juara untuk Dua Menit yang Mendebarkan
E N D
Mental Juara untuk Dua Menit yang Mendebarkan Teman-teman PLN yang ikut hadir di Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR-RI kali ini pulang dengan perasaan yang sangat berbeda dengan biasanya. Hari itu, Selasa 18 Mei 2010, di point terakhir kesimpulan rapat, Komisi VII DPR-RI memutuskan untuk memberikan apresiasi kepada PLN atas usaha kerasnya dalam mencari berbagai terobosan untuk mengatasi masalah kelistrikan. Ketika draft kesimpulan itu dibacakan untuk didengar seluruh peserta yang hadir, saya menyela. “Kalau boleh, point yang memberikan apresiasi kepada PLN tersebut dicabut dari draft kesimpulan. Kami merasa belum waktunya PLN diberi apresiasi. Masih terlalu banyak kekurangan yang harus diatasi,” begitu kurang lebih kata-kata saya. Suasana hening sejenak. Pimpinan rapat yang juga Wakil Ketua Komisi VII DPR-RI itu, Bapak Effendi Simbolon, juga tidak langsung menanggapi permintaan saya itu. Tapi sesaat kemudian beliau melakukan sesuatu yang sama sekali di luar dugaan saya. Beliau menempuh cara konstitusional. Beliau bertanya kepada masing-masing fraksi. Beliau ingin tahu bagaimana sikap fraksi-fraksi atas usulan pencabutan dari saya tadi. Maka satu persatu perwakilan fraksi berbicara. Dari situ tergambar bahwa semua fraksi berpendapat agar point apresiasi kepada PLN tersebut jangan dicabut. Dengan cara konstitusional itu pimpinan rapat tidak lagi punya wewenang untuk memutuskan selain apa yang sudah disepakati. Saya pun menerimanya dengan agak tersipu-sipu. Apalagi, hari itu, di rapat itu, ihik-ihik, saya baru saja menitikkan air mata untuk sebuah ketidak berhasilan mencegah terjadinya pemadaman listrik yang terparah di Palu. Palu memang menguras enersi teman-teman PLN yang luar biasa. Terutama teman-teman PLN di Palu, Sulutenggo dan bahkan sampai ke jajaran direksi. Saya bisa membayangkan betapa beratnya beban mental teman-teman kita yang bertugas di Palu. Alangkah tidak berdayanya mereka di tengah-tengah tekanan yang begitu berat dari masyarakat. Seberat-berat tekanan batin direksi, tidak ada artinya dibanding apa yang dialami secara langsung oleh teman-teman kita yang bertugas langsung di tengah masyarakat. Demikian juga di Lombok. Listrik di Lombok begitu parahnya. Dan memang, sampai dengan CEO’s Notes edisi keenam ini saya tulis, tinggal dua wilayah itulah yang pemadaman bergilirnya masih parah. Dua wilayah inilah yang masih memerlukan keringat dan korban perasaan yang lebih banyak lagi. Dua wilayah inilah yang akan menjadi monumen abadi sebagai dua wiliayah terakhir yang paling sulit “ditundukkan”. Palu dan Lombok seperti materi ujian nasional yang paling sulit bagi seorang murid SMA.Apakah kita tidak akan lulus UN?Apakah kita akan gagal menjawab dua pertanyaan UN yang tersisa itu?Masih adakah cara untuk mengatasinya? Bukankah waktunya sudah sangat mepet? Bukankah kita berjanji, terutama saya, bahwa paling lambat 30 Juni 2010 tidak ada lagi pemadaman bergilir di seluruh Indonesia? Masih cukup waktukah memikirkan jawaban untuk dua point UN itu? Bukankah ini ibarat pertandingan sepakbola yang waktunya tinggal 2 menit lagi dengan kedudukan PLN masih ketinggalan O-2? Kalau saja PLN adalah Manchester United atau Chelsea barangkali masih ada harapan. Masih bisa mencetak dua gol dalam dua menit terakhir. Tapi PLN nama sekelas Barcelona. Sambil menunggu menit-menit akhir yang menegangkan itu, saya hanya bisa berharap semoga striker-striker PLN bisa menceploskan dua gol yang paling ditunggu secara nasional itu. Kalau sampai itu terjadi, alangkah dramatiknya pertandingan ini. Dalam suasana yang menegangkan itu diperlukan apa yang disebut “mental juara”. Bukan mental ayam sayur. Kita harus ingat betapa banyak kesulitan yang pernah kita atasi. Siapa yang mengira krisis listrik di Medan bisa diatasi? Bukankah krisis disana sudah begitu parahnya? Kita harus ingat betapa jungkir baliknya teman-teman kita di Medan untuk bisa mengatasi semua itu. Jungkir balik yang semula kita rasakan berat, tapi toh berakhir nikmat. Tidak ada yang sampai, misalnya, cidera. Padahal Michel Ballack saja sampai patah kakinya. Kini saya lihat teman-teman kita di Medan bisa berjalan dengan kepala tegak. Kita tentu juga ingat Tanjungpinang. Penderitaan teman-teman Tanjungpinang luar biasa beratnya. Sampai-sampai manajer kita di Tanjungpinang pernah dijemur oleh rakyat. Toh akhirnya bisa teratasi. Saya tahu betapa kobat-kabitnya jajaran di bawah direktorat operasi Indonesia Barat. Tapi hasilnya sungguh sepadan: gol! Saya berharap jangan ada lagi manajer PLN yang sampai dijemur. Dijemur satu bulan pun tidak akan keluar listriknya. Orang pun sempat tidak percaya kalau krisis listrik di Ambon akan bisa diatasi. Di kota itu difisitnya 60%! Mana mungkin bisa diatasi. Tapi kita bisa melihat teman-teman di Ambon berhasil mengatasinya. Demikian juga di Ternate, Halmahera dan sekitarnya. Saya tahu rekan kita, Nyoman Astawa, General Manager Maluku itu memang selalu kelihatan tenang, tapi dari sorot matanya saya bisa melihat gejolak apa yang berdegub di dalam dadanya. Sesulit Ambon pun ternyata bisa diatasi. Padahal kesulitan mengatasi krisis listrik di Ambon ini bertambah-tambah oleh banyaknya demo. Di satu sisi teman-teman kita di Ambon harus stress siang-malam. Di lain pihak yang datang untuk demo juga tidak henti-hentinya. Karena itu ketika suatu malam saya melihat berita di TV yang mengatakan karyawan PLN Ambon memukul salah seorang pendemo, saya langsung kirim SMS ke Pak Nyoman Astawa “Kok pukulannya tidak keras begitu. Mestinya lebih keras lagi saja”. Saya memang ikut emosi malam itu. Memang masih saja ada yang tidak percaya bahwa di Ambon, krisis listrik sudah teratasi. Jangankan masyarakat. Sebagian teman-teman PLN sendiri ada yang pesimistis. Terutama teman-teman PLN yang sudah terbiasa di kalangan kita sendiri kita kenal sebagai orang yang bermental “ngroweng”. Yakni teman-teman yang bisanya hanya mencela, meremehkan, mengejek dan ngomelan. Kumpulan sifat inilah yang biasanya saya sebut dengan satu kata: ngroweng! Bahkan di kalangan mereka ini, PLN dinilai sedang menggali lubang untuk dirinya sendiri. Mungkin pandangan itu tidak salah. Jangan-jangan kita memang sedang menggali kuburan. Jangan-jangan kita tidak berhasil mengatasi Palu dan Lombok. Jangan-jangan striker-striker kita sudah pincang di depan semua orang Palu dan Lombok yang sudah lumpuh. Tidak! Liverpool pernah ketinggalan 0-2 dengan waktu terisa 3 menit. Dengan mental juara, toh akhirnya menang. Mental juara inilah yang kini lagi tumbuh merata ke seluruh jajaran PLN Indonesia! Dahlan IskanCEO PLN