140 likes | 549 Views
BIAS BUDAYA DAN AGAMA DALAM “KLAB”. KONSEP “KLAB”. Pada interaksi sosial antara masyarakat yang satu (konselor) dengan masyarakat lain (klien) yang berbeda budaya sering terjadi “tawar-menawar” budaya.
E N D
KONSEP “KLAB” • Pada interaksi sosial antara masyarakat yang satu (konselor) dengan masyarakat lain (klien) yang berbeda budaya sering terjadi “tawar-menawar” budaya. • Perbedaan-perbedaan yang ada pada masing- masing kelompok (konselor dan klien) akan berpengaruh (bias) terhadap proses konseling. • Dalam konteks ini, perlu ditemukan suatu nilai bersama yang bisa menjembatani perbedaan-perbedaan tersebut.
JENIS KONSELOR KONSELOR PEKA AGAMA BUDAYA KONSELOR BIAS AGAMA BUDAYA
KONSELOR PEKA BUDAYA • Konselor peka budaya: konselor yang menyadari bahwa secara kultural individu memiliki karakteristik yang unik dan ke dalam proses konseling individu membawa karakteristik unik tersebut
LANJUTAN.... • “KLAB” mengharuskan seorang konselor peka dan tanggap terhadap adanya keragaman dan perbedaan budaya antara klien yang satu dengan klien lainnya, dan antara konselor sendiri dengan kliennya. • Konselor harus sadar akan implikasi diversitas budaya terhadap proses konseling. • Dalam interaksi antar manusia sangat mungkin terjadi masalah dalam kaitannya dengan unsur-unsur kebudayan yaitu budaya yang dianut oleh individu, budaya yang ada di lingkungan individu, serta tuntutan-tuntutan budaya lain yang ada di sekitar individu.
CIRI2 KONSELOR PEKA BUDAYA dan AGAMA Pertama: • Konselor lintas Agama Budaya harus sadar terhadap nilai-nilai pribadi yang dimiliki dan asumsi-asumsi terbaru tentang prilaku manusia • Konselor sadar bahwa dia memiliki nilai-nilai sendiri yang dijunjung tinggi dan akan terus dipertahankan. Disisi lain, klien juga menyadari bahwa klien memiliki nilai-nilai dan norma yang berbeda dengan dirinya. Oleh karena itu, konselor harus bisa menerima nilai-nilai yang berbeda itu sekaligus mempelajarinya.
Lanjutan.... Kedua: • Konselor lintas budaya sadar terhadap karakteristik konseling secara umum • Konselor harus memiliki pemahaman yang cukup mengenai konseling, dan sadar terhadap pengertian dan kaidah dalam melaksanakan konseling. Hal ini sangat perlu karena pengertian terhadap kaidah konseling akan membantu konselor dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh klien.
Lanjutan..... Ketiga: • Konselor lintas agama budaya harus mengetahui pengaruh kesukuan atau keyakinan, serta mereka mempunyai perhatian terhadap lingkungannya • Konselor dalam melaksanakan tugasnya harus tanggap terhadap perbedaan yang berpotensi untuk menghambat proses konseling. Terutama yang berkaitan dengan nilai, norma dan keyakinan yang dimiliki oleh suku agama tertentu. Terlebih apabila konselor melakukan praktik konseling di Indonesia yang mempunyai lebih dari 357 etnis dan 5 agama besar serta penganut aliran kepercayaan.
KONSELOR BIAS AGAMA BUDAYA • Dalam proses konseling, konselor membawa serta karakteristik-karakteristik psikologinya, seperti kecerdasan, bakat, sikap, motivasi, kehendak, dan tendensi-tendensi kepribadian lainnya. • Konselor masih kurang perhatian terhadap latar belakang agama budaya konselor maupun klien yang ikut membentuk perilakunya dan menentukan efektivitas proses konseling, seperti etnik, afiliasi kelompok, keyakinan, nilai-nilai, norma-norma, kebiasaan, bahasa verbal maupun non-verbal adalah termasuk bias-bias budaya yang sering muncul.
CIRI2 KONSELOR BIAS BUDAYA • Pelayanan konseling yang bias budaya akan dapat terjadi jika antara konselor dan klien mempunyai perbedaan. • Konselor tidak menyadari perbedaan latar belakang kebudayaan yang dimilikinya. • Konselor tidak mampu mengenali nilai2 universal dari agama budaya keduanya • Konselor merasa nyaman dengan perbedaan yang ada antara dirinya dan klien dalam bentuk ras, etnik, kebudayaan, dan kepercayaan, dan tidak berupaya mencari titik persamaannya.
Lanjutan..... • Agar konseling berjalan efektif, maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan budaya dan melepaskan diri dari bias-bias budaya, mengerti dan dapat mengapresiasi diversitas budaya, dan memiliki keterampilan yang responsif secara kultural. • Konseling yang demikian dipandang sebagai “perjumpaan budaya” (cultural encounter) antara konselor dan klien.