40 likes | 133 Views
Dengan memahami aksara, manusia mampu mengembangkan dirinya dan masyarakat melalui pendidikan, menuju taraf kehidupan yang lebih baik. Selain itu, tinggi rendahnya buta aksara akan menjadi penentu utama tinggi-rendahnya kualitas pembangunan manusia Indonesia atau human development index (HDI). Angka buta aksara menyumbang dua pertiga dalam penentuan HDI, sepertiga dalam pendidikan, dan lainnya ekonomi serta kesehatan.
E N D
See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/287999756See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/287999756 Benang Kusut Persoalan Buta Aksara di Indonesia Article · September 2015 CITATIONS 0 READS 345 1 author: Manik Sukoco Universitas Negeri Yogyakarta 22PUBLICATIONS0CITATIONS SEE PROFILE Some of the authors of this publication are also working on these related projects: The Problems of Implementing Scientific Approach Faced by Civics and Citizenship Education Teacher at SMP Negeri 1 GrujuganView project International Perspective of Civics and Citizenship EducationView project All content following this page was uploaded by Manik Sukoco on 25 December 2015. The user has requested enhancement of the downloaded file.
Benang Kusut Persoalan Buta Aksara di Indonesia (Memperingati Hari Aksara Internasional) Mungkin terasa tidak ada yang spesial pada tanggal 8 September. Tidak ada „tanggal merah‟ pada kalender kita, tidak ada peringatan hari raya, bukan juga hari kemerdekaan nasional. Mungkin kesan spesial hanya akan dirasakan oleh mereka yang berulang tahun, anniversary dengan pasangannya, ataupun momen-momen spesial lainnya yang kebetulan jatuh di tanggal tersebut. Lalu apa yang menjadikan 8 September menjadi hari yang penting? Tanggal tersebut menyimpan suatu momen dunia. 8 September diperingati sebagai Hari Aksara Internasional yang ditetapkan oleh Unesco pada 17 November 1965 di Teheran, mengingat masih tingginya tingkat buta aksara di dunia tahun itu. Sehingga, program-program pemberantasan buta aksara terus dilakukan hingga hari ini. Sebelum berbicara lebih lanjut, ada baiknya kita kupas terlebih dahulu apa itu buta aksara. "Aksara" secara etimogis berasal dari bahasa Sanskerta yaitu akar kata "a-" 'tidak' dan "kshara" 'termusnahkan'[1]. Secara sederhana, aksara dapat didefinisikan sebagai sistem simbol yang ditujukan untuk mengekspresikan bahasa. Penggunaan aksara ditujukan agar manusia dapat mendeskripsikan suatu hal, sehingga dapat dipahami dan dipelajari. Untuk itu, aksara diwujudkan dalam bentuk sistem simbol tetentu agar dapat dipahami (huruf, kata, kalimat, tanda baca, dsb). Karena aksara memiliki tujuan untuk dipahami dan dipelajari, memahami aksara (dikenal dengan istilah melek aksara) bukanlah sekedar kemampuan menghafal huruf demi huruf hingga terangkai sebuah kata dan kalimat, tapi juga mampu mengidentifikasi, mengerti, menerjemahkan, membuat, mengkomunikasikan dan mengolah isi dari rangkaian teks. Ketidak-mampuan akan hal tersebut dikenal dengan istilah buta aksara. Sehingga, pemberantasan buta aksara juga perlu diiringi sistem pendidikan yang baik, yang dapat membawa manusia pada pemahaman dan pembelajaran. Dengan memahami aksara, manusia mampu mengembangkan dirinya dan masyarakat melalui pendidikan, menuju taraf kehidupan yang lebih baik. Selain itu Tinggi rendahnya buta aksara akan menjadi penentu utama tinggi-rendahnya kualitas pembangunan manusia Indonesia (HDI). Angka buta aksara menyumbang dua pertiga dalam penentuan HDI, sepertiga dalam pendidikan, dan lainnya ekonomi serta kesehatan.[2] Persoalan Buta Aksara di Indonesia Di Indonesia saat ini masih terdapat lebih dari 9 juta jiwa (kurang lebih 4% dari total penduduk) yang dikategorikan sebagai buta aksara.[3].Kebanyakan terdiri dari masyarakat adat dan masyarakat pinggiran. Selain itu, terdapat kurang lebih 880.000 anak berpotensi buta aksara[4]. Potensi buta aksara ini hadir akibat kemampuan keaksaraan yang jarang diasah, dan kebanyakan dialami oleh anak-anak Indonesia yang putus sekolah. Secara umum, kondisi buta aksara di Indonesia dipengaruhi oleh sempitnya akses pendidikan. Pada awal 2014, masih terdapat 173 Kabupaten/Kota yang belum menerapkan wajib belajar sembilan tahun[5]. Bahkan kini setiap tahunnya, terdapat atau human development index
sekitar 300 ribu murid SD yang putus sekolah[6]. Pada awal 2015 kemarin, BPS juga merilis data yang memprihatinkan, yaitu masih terdapat 10.985 desa di Indonesia yang belum memiliki SD. Selain itu, terdapat 2.438 desa yang jarak tempuh ke SD terdekatnya sejauh tiga kilometer[7]. Berbagai data yang memprihatinkan tersebut menunjukkan bahwa masih banyak anak-anak Indonesia yang sulit menikmati bangku pendidikan. Kondisi ini jelaslah akan berdampak pada rendahnya kemampuan aksara anak-anak Indonesia di pelosok-pelosok desa. Problem ini jelas membawa efek domino hingga ke persoalan lapangan pekerjaan, kualitas hidup, kesehatan, hingga ke persoalan kemiskinan. Semua akibat hak atas pendidikan yang gagal dipenuhi oleh pemerintah. Dalam konteks masyarakat adat, buta aksara yang dimaksud oleh pemerintah adalah ketidakmampuan menguasai aksara yang secara nasional diterapkan, yaitu Bahasa Indonesia. Menurut data dari Direktorat Jenderal Komunitas Adat Terpencil (KAT) di Indonesia terdapat 365 kelompok ethnik dan sub-etnik dengan jumlah populasi 1,192,164 jiwa. Mereka memiliki struktur aksara tersendiri yang berbeda dengan Indonesia dan hidup secara tradisional. Persoalan yang hadir pada suku-suku adat di berbagai belahan Indonesia adalah persoalan ruang hidup yang dirampas oleh pembangunan. Ruang hidup masyarakat adat kini sangat terancam dengan berbagai macam megaproyek pembangunan infrastruktur ketidakmampuan mereka menguasai aksara Indonesia, mereka dihadapkan pada peraturan hukum, surat-surat, hal ihwal administratif dan persoalan legal formal untuk mempertahankan tanah mereka. Sementara semua hal tersebut membutuhkan kemampuan yang lebih dari sekedar menguasai aksara Indonesia. Hal ini jelas merupakan bentuk diskriminasi terhadap masyarakat adat Indonesia, padahal seharusnya pemerintah menghormati dan mengakui keberadaan masyarakat adat sebagai bagian dari rakyat Indonesia yang beragam. Berbagai persoalan tersebut menunjukkan bahwa persoalan buta aksara bukan hanya sekedar ketidakmampuan membaca dan menulis. Buta aksara merupakan dampak dari dirampasnya hak atas pendidikan. Buta aksara mengakibatkan masyarakat yang buta aksara menjadi sulit mengembangkan kehidupannya yang kini membutuhkan kemampuan aksara (sekolah, kerja, hidup keseharian dsb.). Dengan demikian, negara telah memarginalkan masyarakat yang buta aksara. Oleh karena itu, pemberantasan buta aksara sejatinya bukanlah sekedar program mekanis, yang hanya “menyodorkan” huruf-huruf kepada mereka yang dikategorikan buta aksara. Pemberantasan buta aksara dimulai dari membuka selebar-lebarnya akses pendidikan secara nasional. Pemberantasan buta aksara berarti membangun fasilitas pendidikan di seluruh pelosok desa dan kota. Pemberantasan buta aksara membutuhkan suatu sistem pendidikan yang ilmiah, demokratis, dan mengabdi pada kepentingan rakyat, agar mampu menyelesaikan persoalan rakyat. Sehingga, rakyat mampu memahami dan mengembangkan pengetahuan dan kebudayaannya ke taraf yang lebih maju. Itulah tugas Negara yang telah termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Dan semua persoalan pendidikan di Indonesia akibat kebijakan komersialisasi, privatisasi, dan liberalisasi pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah, perlulah menjadi tanda tanya kita semua. Untuk siapa negara ini mengabdi? dan investasi. Ditengah
Penulis: Manik Sukoco (Kolumnis Majalah Inside Indonesia) [1] Wikipedia Eniklopedia Bebas, Aksara, https://id.wikipedia.org/wiki/Aksara, diakses pada 6 September 2015. [2]Siti Muyassarotul Hafidzoh,Pemberantasan Buta Aksara, Rebublika, http://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/14/09/09/nbmb8h13- pemberantasan-buta-aksara, diakses pada 6 September 2015. [3] Data BPS tahun 2014 [4]Republika Online, 880 Anak Indonesia berpotensi Buta Aksara,http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/berita/10/07/09/123928-880-ribu-anak- indonesia-berpotensi-buta-aksara, diakses pada 6 September 2015. [5]Kantor Berita Pendidikan.net, 173 Daerah Belum Tuntaskan Wajar, http://kantorberitapendidikan.net/173-daerah-belum-tuntaskan-wajar/, diakses pada 6 September 2015. [6]Republika Online, Setiap Tahun 300 ribu Siswa SD Putus Sekolah,http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/06/09/npo61n-setiap-tahun-300- ribu-siswa-sd-putus-sekolah, diakses pada 6 September 2015. [7]Viva.co.id, 10.985 Desa di Indonesia tak punya Sekolah Dasar, http://nasional.news.viva.co.id/news/read/590575-10-985-desa-di-indonesia-tak-punya- sekolah-dasar, diakses pada 6 September 2015. View publication stats View publication stats