370 likes | 908 Views
Nukilan Perjalanan Mahkamah Agung dari Masa ke Masa. Sejarah Mahkamah Agung pada dasarnya adalah sejarah pertarungan politik untuk mempertahankan dan memperoleh kembali otonomi pengadilan dari campur tangan politik. Gedung lama Mahkamah Agung peninggalan jaman kolonial.
E N D
Sejarah Mahkamah Agung pada dasarnya adalah sejarah pertarungan politik untuk mempertahankan dan memperoleh kembali otonomi pengadilan dari campur tangan politik
Pengadilan dalam sejarah Indonesia tidak pernah tampil di garis depan perubahan. Di zaman kolonial, hakim-hakim Indonesia bertindak sebagai pelayan setia negara kolonial dan mendapati diri mereka berhadapan langsung dengan gerakan kemerdekaan.Ketika konflik politik makin mendalam dan menghebat di tahun 1930-an dan 1940-an, tak satu pun hakim Indonesia di peradilan kolonial mengundurkan diri. Hakim justru berdiri tegak di kubu kolonial.
Pada masa kolonial, gagasan mengenai pengadilan independen sangat berjarak dengan masyarakat Indonesia. Sebab, sejatinya Mahkamah Agung kolonial sama sekali tidak melayani masyarakat Indonesia. Hal ini menjadikan Mahkamah Agung menjadi institusi yang sepenuhnya asing.
Di masa awal kemerdekaan, beberapa hakim berani berbenturan langsung dengan Soekarno dalam mendukung kepentingan kelembagaan pengadilan. Salah satu konfrontasi langsung semacam itu terjadi pada Januari tahun 1960. “Soekarno: Apa yang akan kamu lakukan kalau kamu mendapat perintah langsung dari Presiden?” “Hakim Suparni: Oh, bukankah kemandirian kehakiman melarang hal semacam itu?”
Gaji awal Ketua Mahkamah Agung adalah Rp 650 dan naik menjadi Rp 700 pada tahun 1947 (dengan Rp 100 biaya hadir). Agar bisa bertahan hidup, Ketua Mahkamah Agung bahkan terpaksa menyewakan mobil dinasnya sebagai taksi selama jam kerja.
Dalam periode politik revolusioner, hakim tidak hanya kehilangan status, tetapi juga kekuasaan dan independensi akibat campur tangan eksekutif. … dan sejak itu agenda pengadilan dipenuhi isu-isu fundamental menyangkut status, kekuasaan dan independensi.
Kedudukan dan peran Mahkamah Agung dalam konteks Indonesia modern sangat dipengaruhi oleh tantangan kelembagaan & kemasyarakatan untuk membawa konsep dan lembaga peradilan negara ke tataran lokal.
IKAHI Pertarungan untuk memperebutkan status hakim di tahun 1950-an telah menyatukan hakim-hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang semula tercerai-berai dalam Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) dengan sebuah fokus politik yang jelas. Ikahi memberi agenda dan momentum politik. Bagi para hakim yang terbukti penting bagi masa depan dan pada akhirnya membentuk pentas politik dan memunculkan aktor-aktor politik utama berikut dengan perannya.
Perempuan pertama masuk Mahkamah Agung terjadi pada 1968, jauh sebelum kebanyakan pengadilan tertinggi di Barat menerima hakim perempuan. Ia adalah Sri Widoyati Soekito, yang dari segi apapun adalah perempuan luar biasa, yang pada 1970-an gigih mempertahankan integritas moralnya pada saat seluruh Mahkamah Agung kandas.
“Wirjono Kusuma adalah hakim hebat. Melangkah tegap, ia berjalan melewati meja kami dengan jari mengusap meja untuk memeriksa ada debu atau tidak. Ia pergi pulang ke dan dari kantor naik sepeda, saat pulang ia akan melambai kepada Anda layaknya seorang bapak dari seberang jalan.”
Pada tahun 1972 di Tenggarong, di mana yurisdiksi Pengadilan Negeri meliputi wilayah amat luas, pengadilan harus mengandalkan dua sepeda rusak dan karena tidak punya kantor sendiri terpaksa meminjam tiga ruangan dari Pemerintah Daerah. … Para hakim pun menghadapi kesulitan besar untuk sampai ke pengadilan. Dikabarkan ada hakim yang pergi ke kantor “dengan menumpang truk yang lewat
Korupsi dan Pengadilan “Jikadahuluorangharusmencariseorang hakim yang korupdenganlentera, sekarangiaharusmenggunakanlenteraituuntukmencari hakim yang jujur.”
“Dahulu korupsi adalah masalah sederhana: pada 1970-an para hakim korup karena gaji mereka rendah. Gaji mereka kelewat rendah [...] Sekarang situasinya lebih sulit. Ini bukan lagi soal materi, tetapi mental. [...] Akar korupsi modern harus dicari dalam kondisi mental masyarakat Indonesia.” (Ali Said)
Sipirok: Kota Asal para Hakim Agung SP: ApakahAndasatu-satunyaorangBatakdiMahkamah Agung? Hakim: Oh tidak, kamiorangBatakada lima disini. Bahkanempatorangdarimarga Siregar: Aslamiyah, PaltiRadja, BismardanChaeruddin. SP: Tetapibukankah Siregar hanyalahnamamarga? Maksudsaya, namamargatidakmestimenunjukkanhubungankeluarga. Hakim: TetapidiMahkamah Agung begitu! Kamisemuakerabat. Bahkan hakim-hakim Siregar berasaldarikotakecil yang sama: Sipirok. SP: Dan siapa Hakim Agung Batak yang kelima? Hakim: Yahya Harahap. SP: Dan darimanadia? Hakim: [tertawasambilmengacungkanibujari] Sipirokjuga. Sipirokadalahtempat yang hebat.
Mesin Ketik dan Tunggakan Barangkali terasa mustahil mesin ketik bisa menyebabkan mesin keadilan rusak. Tetapi memang begitulah kenyataannya, sebab jika dikehendaki dokumen dianggap autentik, hukum mensyaratkan dokumen harus diketik. Pengadilan Negeri Tangerang pada tahun 1974 mengalami penunggakan perkara serius hanya karena Pengadilan cuma mempunyai satu mesin ketik yang bisa dipakai. Di Pengadilan Negeri Garut pada pertengahan tahun 1970-an situasinya lebih gawat lagi, semua mesin ketik rusak dan tidak bisa direparasi, menyebabkan pekerjaan didiamkan saja.
O P S K I S Program Opskis pada masa Mudjono meraup sukses jangka pendek, walaupun menguras habis kemampuan Mahkamah Agung, dengan para hakim pada awal tahun 1980-an bekerja kalang kabut, bahkan juga pada masa liburan “Saya bisa menyelesaikan tiga atau empat perkara ringan dalam sehari. Tetapi perkara-perkara yang berat kadang-kadang memaksa saya bekerja seharian. Kadang- kadang saya begitu letih, hingga tidak paham lagi apa yang saya baca.”
Kusumah Atmadja Ketua Mahkamah Agung pertama (tahun 1945-1951). Seorang pemberani lugas dan duri bagi Soekarno. Ia tetap menjadi teladan bagi generasi-generasi berikutnya.
Mudjonopunyabeberapakualitasmengagumkan. Gila kerja, iatetapdikantorsampailarutmalamdengan kopi kentaldanrokok, biasamembawapulangpekerjaan (empatkoporatasepenuh) dankembalikekantorsebelumsubuh. “Sayabekerjaduapuluhempat jam sehari,” katanya.
Wirdjono Prodjodikoro mengukuhkan pembubaran Dewan Konstituante dengan Dekrit Presiden & kembali ke UUD 1945
Ketua Mahkamah Agung pertama, Kusumah Atmadja mengucapkan sumpah jabatan dipimpin oleh Soekarno di Keraton Yogyakarta, 17 Desember 1949
Foto informal langka Kusumah Atmadja dalam pernikahan putrinya 11 Nopember 1950
Presiden Soekarno memberikan selamat kepada Satochid Kartanegara pada pengangkatannya sebagai Wakil Ketua MA
Ketua MA Soerjadi (1966 – 1968) dilantik oleh Presiden Soekarno pada tanggal 21 Juni 1966
Pelantikan Soerjadi (1966), salah satu tindakan resmi terakhir Presiden Soekarno
Ali Said membangun namanya sebagai Hakim yang agresif dalam Mahkamah Militer Luar Biasa, 1966 - 1968
Ketua MA Purwoto S Gandasubrata (1992-1994). Berwibawa dan berwawasan, dia adalah Hakim karier pertama yang memegang jabatan Ketua setelah dua dekade kepemimpinan