E N D
HUKUM KORPORASI 4 DWIDJA PRIYATNO
Clinard dan Yeager mengemukakan kriteria kapan seharusnya sanksi pidana diarahkan pada korporasi.Apabila kriteria tersebut tidak ada, maka lebih baik sanksi perdatalah yang digunakan. Kriteria tersebut adalah sebagai berikut: • The degree of loss to the public. • The lever of complicity by high corporate managers. • The duration of the violation. • The frequency of the violation by the corporation. • Evidence of intent to violate. • Evidence of extortion, as in bribery cases. • The degree of notoriety engendered by the media. • Precedent in law. • The history of serius, violation by the corporation. • Deterrence potential. • The degree of cooperation evinced by the corporation
Penuntutan Dan Pemidanaan Korporasi. • Pemidanaan terhadap korporasi, sekalipun sering dikaitkan dengan masalah finansial, namun sebenarnya mengandung tujuan yang lebih jauh. Hal ini terungkap dari pandangan Friedmann di bawah ini: • “ The main effect and usefulness of a criminal conviction imposed upon a corporation cannot be seen either in any personal injury or, in most cases, in the financial detriment, but in the public opprobrium and stigma that attaches to a criminal conviction”
Ternyata apabila kita kaji lebih mendalam peranan hukum pidana ,dalam rangka pertanggungjawaban pidana korporasi banyak manfaatnya,sehingga dapatlah dikemukakan apa yang menjadi alasan penggunaan hukum pidana terhadap kroporasi antara lain: • Hukum Pidana dipandang mampu melaksanakan peranan edukatif dalam mendefinisikan/menetapkan dan memperkuat batas-batas perbuatan yang dapat diterima (acceptable conduct); • Hukum Pidana bergerak dengan langkah lebih cepat daripada perdata.Dengan pidana restitusi,lebih cepat memperoleh kompensasi bagi korban; • Peradilan Perdata terhalang untuk mengenakan sanksi pidana; • Penuntutan bersama (korporasi dan agennya) memerlukan suatu forum pidana apabila ancaman penggurungan digunakan untuk mencegah individu.Dari sudut penegakkan hukum,peradilan bersama itu cukup beralasan karena lebih murah dibandingkan dengan penuntutan terpisah,dan karena mereka mengizinkan penuntut umum mengikuti kasus itu dalam cara yang terpadu
Sebab pada kejahatan korporasi merupakan dan akibatnya sebagai berikut: • “The effect of economic delinguency must be such as to distrub or endanger the economic life or the economic system , above and beyond injury to individual interest.”The function of criminal law not only to protect private property against unlawful interference, but also to protect the basic economic order of the nation
Apabila korporasi dibatasi hanya mempunyai kedudukan sebagai badan hukum,maka terdapat pembatasan-pembatasan seperti: • Delik-delik yang tidak dapat dilakukan oleh korporasi adalah delik-delik: • 1.Yang satu-satunya ancaman pidananya hanya bisa dikenakan kepada orang biasa,misalnya pembunuhan(murder,manslaughter). • 2. Yang bisa dilakukan oleh orang biasa,misalnya bigami,perkosaan
(Sebagai catatan dewasa ini di Inggris korporasi dapat dikenakan manslaughter) Pada tahun 1994 terhadap OLL ltd Putusan Winchester Crown Court tanggal 8 Desember 1994,[1] dan direktur pelaksananya Peter Kite ,dinyatakan bersalah telah mengakibatkan matinya orang lain setelah tewasnya empat anak muda dalam tragedi kegiatan bersampan di Pusat Kegiatan Luar Ruang yang diselenggarakan oleh OLL Ltd.Keberhasilan penuntutan perkara ini mungkin disebabkan oleh karena OLL Ltd merupakan sebuah perusahaan kecil,dan Peter Kite menyadari bahaya ekspedisi sampan di teluk Lyme ( Lyme Bay) setelah adanya surat dari dua orang mantan instruktur di Pusat tersebut yang mengeluhkan tidak memadainya tindakan pencegahan untuk keselamatan. [2] Sebaliknya di Negeri Belanda dewasa ini setelah terjadi perubahan KUHPnya tahun 1976 korporasi merupakan perkumpulan yang terorganisir baik berbentuk badan hukum atau tidak (lihat Pasal 51 W.v.S Belanda),maka korporasi dapat dipertanggungjawabkan untuk seluruhmacam delik ,konsekuensinya seluruh rumusan delik dalam KUHP /W.v.S terdapat ancaman pidana alternatif denda. [1] Cristopher Ryan, Op cit,hlm 123. • [2] Michael.J.Allen, op cit,hlm 215.
Kebijakan legislasi dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara kita, yang mengatur tentang jenis sanksi pidana terhadap korporasi ternyata bervariasi , sebagai contoh dapat dikemukakan sebagai berikut : • 1. UU No 7 Drt 1955,tentang Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi . • a.Sanksi yang dapat dikenakan terhadap korporasi adalah pidana tambahan berupa penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan si terhukum ,apabila tindak pidana ekonomi dilakukan untuk waktu selama-lamanya satu tahun(Pasal 7 ayat (1) sub b ). • b.Perampasan barang-barang tak tetap yang berwujud dan yang tidak berwujud termasuk perusahaan si terhukum yang berasal dari tindak pidana ekonomi (Pasal 7 ayat (1) sub c jo. sub d) • c.Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu,yang telah atau dapat diberikan kepada si terhukum oleh pemerintah berhubungan dengan perusahaannya ,untuk waktu selama-lamanya dua tahun;(Pasala 7 ayat(1) sub e);
d.Pengumuman Putusan Hakim (Pasal 7 ayat(1) sub f); • e.Tindakan Tata Tertib ,seperti menempatkan perusahaan si terhukum di bawah pengampuan ,mewajibkan pembayaran uang jaminan ,mewajibkan membayar sejumlah uang sebagai pencabutan keuntungan,mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan,tanpa hak,meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak ,dan melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat-akibat satu sama lain ,semua atas biaya si terhukum,sekedar hakim tidak menentukan lain ( Pasal 8 Sub a,b,c,d); • f. Pidana Denda ,sebab menurut Pasal 9 dikatakan bahwa penjatuhan tindakan tata tertib dalam Pasal 8 harus bersama-sama dengan sanksi pidana,dan sanksi pidana yang tepat dapat dijatuhkan terhadap korporasi adalah pidana denda.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. • a.Pidana Pokok berupa Pidana Denda; • b.Tindakan Tata Tertib (Pasal 47)berupa : • 1.perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;dan/atau • 2.penutupan perusahaan(seluruhnya/sebagian); dan atau • 3.perbaikan akibat tindak pidana; dan atau • 4.mewajibkan mengerjakan apa yang dilakukan tanpa hak;dan/atau • 5.meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak;dan /atau • 6.menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3(tiga) tahun.
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi. • Pidana Pokok yang dapat dijatuhkan kepada korporasi hanya pidana denda,yangmaksimumnya ditambah/diperberat 1/3(satu pertiga) (Pasal 20 ayat(7).Ketentuan tersebut cukup wajar sebab dari dua jenis pidana pokok yang diancamkan yaitu penjara dan denda,hanya pidana denda yang cocok dan dapat diterapkan untuk korporasi.Akan tetapi juga dapat dipertimbangkan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) dapat diterapkan terhadap korporasi ,yaitu sanski berupa penutupan perusahaan/korporasi untuk waktu tertentu atau pencabutan hak/izinusaha. Sebagai catatan pidana denda untuk korporasi tidak ditentukan ketentuan khusus tentang pelaksanaan pidana denda yang tidak dibayar oleh korporasi.Hal ini dapat menimbulkan masalah karena apabila denda tidak dibayar tunduk padsa ketentuan Pasal 30 KUHP yaitu diganti dengan kurungan pengganti denda selama 6(enam) bulan,dan ini tidak dapat diterapkan terhadap korporasi dan hanya tepat diterapkan terhadap subjek tindak pidana berupa orang.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. • a.Menurut Pasal 59 ayat(3),korporasi yang melakukan tindak pidana dalam Pasal 59 hanya dikenakan dengan Rp.5.000.000.000,-(lima miliar rupiah); • b.Menurut Psal 70,korporasi yang melakukan tindak pidana dalam Pasal 60 sampai dengan Pasal 64 dikenakan : • (1)pidana denda sebesar 2 (dua) kali yang diancamkan; dan • (2)dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. • a.Pidana Denda diperberat(ayat(4) Pasal 78 sampai dengan Pasal 82); • b.Tidak ada ketentuan eksplisit,bahwa korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan. • Sebagai catatan Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa dalam Pasal 91 menyatakan: • “penjatuhan pidana terhadap segala tindak pidana narkotika dalam undang-undangini, kecuali yang dijatuhi pidana kurungan atau denda tidak lebih dari Rp 5.000.000.-(lima juta rupiah) ,dapat pula dipidana dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku”dapat menjadi masalah,apakah dapat berlaku untuk korporasi atau tidak,karena dalam pasal itu tidak disebut-sebut “penjatuhan pidana terhadap korporasi”.Namun ,dapat juga ditafsirkan berlaku untuk korporasi ,karena pasal itu mengandung pernyataan umum tentang penjatuhan pidana terhadap segala tindak pidana narkotika dalam undang-undang ini”.Sekiranya Pasal 91 ini dimaksudkan juga untuk korporasi ,hal ini masih menimbulkan masalah.Dikatakan masalah karena penjelasan Pasal 91 menunjuk pada pidana pencabutan hak menurut KUHP yaitu Pasal 35 ayat(1) butir 1,butir 2,dan butir 6 yaitu:hak memegang jabatan;hak memasuki Angkatan Bersenjata;dan hakmenjalankan pencarian tertentu).Padahal,pencabutan hak menurut KUHP itu bersifat individual,tidak ditujukan pada korporasi.Sehubungan dengan permasalahan di atas,menurut pendapat saya,seyogianya ditegaskan saja secara eksplisit,bahwa terhadap korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan,khususnya berupa pencabutan izin usaha.
Di negara-negara Anglo Saxon seperti di Inggris ,masalah pemidanaan korporasi sudah berkembang sedemikian rupa,yang nantinya sebagai ius constituendum dapat dipertimbangkan untuk ditambahkan menjadi sanksi yang dapat dikenakan terhadp korporasi. Celia Wells dalam bukunya yang berjudul “ Corporations andCriminal Responsibility, menyatakan bahwa sanksi untuk korporasi dibagi menjadi dua :
1. Financial Sanction; • Yaitu jenis pidana Denda,yang dianggap tepat dan dapat dijatuhkan kepada korporasi.Tetapi dalam penerapannya juga menimbulkan masalah yaitu apabila tidak dapat dibayar oleh korporasi maka tidak akan dapat diganti dengan pidana perampasan kemerdekaan.Pembatasan dalam pembayaran denda hanya dibatasi atau diambil dari harta kekayaan korporasi itu sendiri.Tetapi apabila tidak dapat memenuhi sanksi berupa sanksi financial maka jelas akan mempengaruhi penampilan dan reputasi dari korporasi ,di mana dalam kehidupan bisnis sangat diperlukan.
2.Non Financial Sanction. • Non financial Sanction ini dapat berupa: • a.Probation; • b.Adverse publicity; • c.Community Service; • d.Direct compensation Orders; • e.Punitive injunctions
Apabila kita kaji beberapa uraian di atas tentang sanksi(pidana) yang dapat dijatuhkan kepada korporasi ,sepanjang hukum pidana positif Indonesia memungkinkan,di samping usulan dari Council Europe di atas,maka perlu dipertimbangkan sanksi (sebagai prospek)berupa: • Pidana Denda; • Pidana Bersyarat atau pidana pengawasan (Probation); • Pidana Kerja Sosial (Community Service Orders); • Pengumuman Putusan Hakim (Adverse Publicity); • Berbagai sistem tindakan tata tertib,termasuk di dalamnya penutupan perusahaan; • Pencabutan ijin. • Kompensasi yang bersifat keperdataan,diberikan melalui proses pidana (Jerman :Adhasionprozess); • Ganti Kerugian .
Beberapa peraturan perundang-undangan TENTANG jenis sanksi (pidana) yang dapat dikenakan terhadap korporasi adalah : • Pidana Denda .Sebagian besar sanksi yang dapat dijatuhkan kepada korporasi adalah Sanksi Pidana Denda.Untuk Tindak Pidana Ekonomi Sanksi Pidana Denda harus dijatuhkan bersama-sama dengan tindakan tata tertib.Sedangkan untuk Undang-undang Psikotropika, pidana denda yang dijatuhkan kepada korporasi, pidana denda sebesar 2 (dua) kali yang diancamkan.Dalam Tindak Pidana lingkungan Hidup, denda yang diancamkan terhadap korporasi yaitu pidana denda diperberat dengan sepertiga.Ketentuan tersebut diatur pula dalam tindak pidana Korupsi (Undang-undang No.31 Tahun 1999 jo. Undang-undang No. 20 tahun 2001) ,Pasal 20 ayat(7) dan Undang-undang Tentang Minyak Dan Gas Bumi (UU No.22 Tahun 2001),Pasal 56 ayat(2), serta dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang,Pasal 5 ayat(1).Apabila kita perhatikan semua peraturan perundang-undangan tersebut di atas tidak mengatur pidana pengganti denda apabila denda tidak dapat dibayar oleh korporasi.
Pidana Tambahan .Pidana tambahan juga diancamkan terhadap pelaku tindak pidana korporasi.Hal ini dapat kita jumpai dalam Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi,berupa sanksi penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan si terhukum ,apabila tindak pidana ekonomi dilakukan untuk waktu selama-lamanya satu tahun(Pasal 7 ayat (1) sub b ). Perampasan barang-barang tak tetap yang berwujud dan yang tidak berwujud termasuk perusahaan si terhukum yang berasal dari tindak pidana ekonomi (Pasal 7 ayat (1) sub c jo. sub d) dan sanksi berupa pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu,yang telah atau dapat diberikan kepada si terhukum oleh pemerintah berhubungan dengan perusahaannya ,untuk waktu selama-lamanya dua tahun;(Pasal 7 ayat(1) sub e);serta sanksi berupa Pengumuman Putusan Hakim (Pasal 7 ayat(1) sub f);Sanksi tersebut apabila dihubungkan dengan KUH Pidana juga dapat dikatagorikan merupakan jenis-jenis dari pidana tambahan.
Sedangkan dalam Undang-undang tentang Ketenagalistrikan pidana tambahan dapat berupa pencabutan izin Usaha Ketenagalistrikan.(Pasal 20 ayat(3) dan Pasal 22 ayat (2).Di dalam Undang-undang Psikotropika jenis pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha.Sedangkan dalam Undang-undang Narkotika tidak ada ketentuan eksplisit bahwa korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan.Perumusan pidana tambahan dalam Undang-undang Lingkungan Hidup tidak secara tegas dikatakan merupakan pidana tambahan sebab jenis sanksi yang seharusnya merupakan pidana tambahan masuk ke dalam jenis tindakan tata tertib.Misalnya sanksi berupa “perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana”dan atau “penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan “ (Lihat Pasal 47 sub a dan sub b Undang-undang No.23 Tahun 1977),pada hakekatnya dapat dikelompokkan ke dalam jenis pidana tambahan.P
Perampasan keuntungan pada hakikatnya merupakan perluasan dari “perampasan barang” yang merupakan salah satu pidana tambahan menurut KUH Pidana.Demikian pula penutupan perusahaan,pada hakikatnya merupakan perluasan dari pidana tambahan berupa “pencabutan hak” karena penutupan perusahaan dapat mengandung di dalamnya pencabutan hak/izin berusaha.Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ,pidana tambahan di atur dalam Pasal 49 ,berupa : pencabutan izin usaha;atau larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun;atau penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.(Pasal 49).
Untuk Undang-undang Perlindungan Konsumen ,pidana tambahan berupa : perampasan barang tertentu;pengumuman keputusan hakim;pembayaran ganti rugi;perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau pencabutan izin usaha. (Pasal 63).Dalam Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dan/atau pembubaran korporasi yang diikuti dengan likuidasi.(Pasal 5 ayat(2)).
Tindakan Tata Tertib.Tindakan Tata Tertib, yang diatur dalam Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi, seperti menempatkan perusahaan si terhukum di bawah pengampuan ,mewajibkan pembayaran uang jaminan ,mewajibkan membayar sejumlah uang sebagai pencabutan keuntungan,mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan,tanpa hak,meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak ,dan melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat-akibat satu sama lain ,semua atas biaya si terhukum,sekedar hakim tidak menentukan lain ( Pasal 8 Sub a,b,c,d);Jenis Tindakan Tata Tertib dalam Undang-undang Tindak Pidana Lingkungan Hidup (Pasal 47) dapat berupa perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;dan/atau penutupan perusahaan(seluruhnya/sebagian); dan atau perbaikan akibat tindak pidana; dan atau mewajibkan mengerjakan apa yang dilakukan tanpa hak;dan/atau meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak;dan /atau menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3(tiga) tahun.
Sanksi (pidana) yang dijatuhkan terhadap korporasi,harus diterapkan secara hati-hati sebab akan berdampak terhadap pihak yang tidak bersalah seperti pegawai korporasi,pemegang saham /stockholder,konsumen .Dalam rangka penegakan hukum perlu diperhatikan The Accountability Model yang berwujud Pyramidal Enforcement sebagai pilar dalam kontrol sosial untuk menjatuhkan sanksi terhadap korporasi,dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:
Siapakah yang harus mempertanggungjawabkan dalam persidangan apabila suatu korporasi dituntut pidana, hal ini dapat dilihat untuk Tindak Pidana Ekonomi dalam Pasal 15 ayat (3) yang berbunyi : • “Jika suatu tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau yayasan maka badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu pada waktu penuntutan diwakili oleh seorang pengurus atau jika ada lebih dari seorang pengurus oleh salah seorang dari mereka itu. Wakil dapat diwakili oleh orang lain. Hakim dapat memerintahkan supaya seorang pengurus menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus itu dibawa ke muka hakim”.
Permasalahan selanjutnya ialah kepada siapakah pidana harus dijatuhkan?, Untuk Tindak Pidana Ekonomi diatur dalam Pasal 15 ayat (1) UU No. 7 Drt Tahun 1955 Pasal 19 ayat (3), Undang-undang Pos dan Pasal 15 ayat (1) UU No.7 Drt Tahun 1955 berbunyi: • “Jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang atau suatu yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, atau yayasan itu, baik pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan atau kelalaian itu, maupun terhadap kedua-duanya”