220 likes | 435 Views
OPTIMALISASI KONTRAK KERJA SAMA MIGAS MELALUI PEMBAGIAN PERSENTASE DARI QUANTITY GROSS LIFTING Dalam rangka mendukung PP n o 6 tahun 2010 tentang pedoman kebijakan peningkatan produksi minyak dan gas bumi Oleh Yohanes Abdullah Litbang KSPMI ( Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia).
E N D
OPTIMALISASI KONTRAK KERJA SAMA MIGAS MELALUI PEMBAGIAN PERSENTASE DARI QUANTITY GROSS LIFTINGDalam rangkamendukung PPno 6 tahun 2010tentang pedoman kebijakan peningkatan produksi minyak dan gas bumiOlehYohanesAbdullahLitbang KSPMI (KonfederasiSerikatPekerjaMigas Indonesia)
SASARAN • MENINGKATKAN PRODUKSI MELALUI PEMANGKASAN BIROKRASI AGAR KEPUTUSAN LEBIH CEPAT SEHINGGA OPERASI LEBIH EFEKTIF DAN EFISIEN. • MENINGKATKAN PERSENTASE PENERIMAAN NEGARA DARI GROSS LIFTING. • MENGURANGI SUBSIDI PEMERITAH TERHADAP BBM KARENA DEFISIT PRODUKSI. • MENDORONG BPMIGAS LEBIH FOKUS PADA PENGAWASAN BLOCK TAHAP EXPLORASI SAJA.
LANDASAN HUKUM • UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2001TENTANG MINYAK DAN GAS BUMI - Pasal 1 Ayat 19. • PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NO. 06 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUKSI MINYAK DAN GAS BUMI - Pasal 1 Ayat 2. “Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” Artinya undang-undang membuka ruang bagi bentuk kontrak selain kontrak bagi hasil sepanjang lebih menguntungkan negara. PENERAPAN KONTRAK TANPA COST RECOVERY
FAKTA PERMASALAHAN • Produksi dan cadangan menurun sementara cost recovery naik terus dan insentif investasi diberikan. • Panjangnya birokrasi menghambat kelancaran operasi. • Perijinan instansi pemerintah “dibawah satu atap” belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. • Disinsentif bagi Operator atas peningkatan produksi. • Penggelembungan cost recovery yang terus berlangsung(sulit dicontrol oleh pemerintah) • Penerimaan negara dari persentase gross lifting semakin menurun.
FaktaPenerimaan Negara 2006-2010 • Tidak ada data % Government Take dari Gross Lifting, ada indikasi data ini tidak lagi dipublish. • Beberapa K3S yang sudah produksi, WP&B 2012 telah menunjukkan government take telah turun tajam sampai 52% dari gross lifting, itupun belum pasti kalau terjadi lonjakan cost recovery, persentase government take bisa lebih rendah lagi.
FAKTA PENYIMPANGANAnwar Nasution, Ketua BPK • Pelaksanaan Kontrak Kerja Sama (KKS) Minyak dan Gas Bumi masih menunjukkan kelemahan. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan kekurangan penerimaan negara senilai Rp 14,58 triliun.Demikian disampaikan Ketua BPK Anwar Nasution dalam pidatonya pada penyerahan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun Anggaran 2008 pada kepada DPR di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (21/4/2009). • "Pelaksanaan KKS menunjukkan adanya kelemahan sistem pengendalian intern dan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang mengakibatkan kekurangan penerimaan senilai Rp 14,58 triliun," tuturnya. • Dari jumlah tersebut, sebesar Rp 14,4 triliun merupakan kekurangan penerimaan perhitungan kembali bagi hasil Pertamina Petroleum Contract (PPC) dan Kontrak Minyak dan Gas Bumi Pertamina (KMGBP) periode 2003-2007 sehubungan koreksi alokasi biaya depresiasi yang diperhitungkan dalam cost recovery. • "Adapun temuan senilai Rp 174,49 miliar merupakan koreksi perhitungan bagi hasil pada pelaksanaan lima KKS Migas," ujar Anwar.
FAKTA LAIN-LAIN • Biaya operasional BPMIGAS tidak diambil dari APBN, tetapi dari fee pemerintah dan kontraktor. Sistem ini rentan terhadap “penggelapan” penerimaan negara dari sektor migas contoh: BPK menemukan dalam LKPP 2005-2007 adanya Rp 120,329 triliun dana yang tidak tercatat dan dibelanjakan melalui APBN. • BPK beberapa kali memberi opini adverse (penilaian terburuk) terhadap laporan keuangan BPMIGAS alpa mengawasi uang negara yang hilang karena penggelembungan cost recovery. • lebih dari 60 tahun merdeka tetapi industri migasnya masih sangat tergantung pada dominasi asing (sekitar 90% produksi migas dihasilkan kontraktror asing) (Pri Agung). • Dalam hal kinerja umum, indikasi dari tidak optimalnya pengelolaan industri migas nasional salah satunya ditunjukkan dengan produksi dan cadangan migas yang kecenderungannya terus menurun, sementara cost recovery meningkat (Pri Agung).
FAKTA LAIN-LAIN • Dari data yang ada, terlihat bahwa dari berbagai insentif yang diberikan tersebut ternyata kecenderungannya tidak selalu berkorelasi positif terhadap hasil yang diharapkan (produksi dan cadangan tidak semakin meningkat dengan peningkatan insentif yang diberikan). • Data Panja Anggaran DPR 2007 menunjukkan bahwa cost recovery diperkirakan mencapai Rp. 93,2 triliun, sehingga penerimaan Migas di APBN 2007 diperkirakan hanya 46,3% (Rp. 148,2 triliun) saja dari total pendapatan kotor migas yang mencapai Rp. 320,4 triliun. • Pengawasan manajemen rumit, keputusan jadi lambat karena ada birokrasi dari WP&B, AFE, POD, dan aturan Lelang Pengadaan. • Inventory barang operasi membengkak, dead stock tinggi, padahal sudah dimasukkan cost recovery. • PSC sudah berlangsung 40 tahun, hipotesanya sudah terjadi transfer of technology, SDM Nasional sudah waktunya mampu mengelola sendiri.
HASIL KAJIAN PARA PAKARDR. KUNTORO UsulKuntoromenggantikontrakbagihasilproduksi (KPS) dengankontrakkerjasama (KKS), alasanterbukakemungkinanpemerintahuntukmendapatkankeuntungan yang lebihbesardaripadabagihasilproduksi. Dalamsoalkontrakproduksi, Kuntoroingin agar aturandibuatlebihterbukasehinggasemuabentukkerjasama yang menguntungkanbisadilakukan, tidaklagihanyasatubentukkerjasamatunggalsepertisaatini, yaitukontrak production sharing. ArgumenKuntoro, "Masaberlakukontrakdalamundang-undangitu 30 tahun. Mengapaharusdibuatbegitukaku?" Prinsipnya, Kuntoromenginginkansistemkontrak yang fleksibel agar banyakpemain yang bisaikut. Kemungkinankoperasibisaikut, bagaimanamungkinbisamenyediakandana yang sangatbesaruntukkegiataneksplorasi, yang risikonyajugasangatbesar, kalausistemnya KPS," katanya. Diajugamembericontohsumurtua yang sudahtidakefisienlagi. "Kalaudipaksakandengansistem KPS, tidakada yang maumengelolanya. Dalamkasus yang khusus, pemerintahlebihcenderungpadasistem service contract (SC) karenajauhlebihmenguntungkan. Kuntoromenjelaskan, dengansistemini, pemerintahhanyamembayarongkoskekontraktor, sedangkanminyaknyasepenuhnyamenjadihakpemerintah. Yang lebihmenarik, pajakdibayarkontraktorsecaraterpisah. Dalamsistem KPS, pajakdibayarpemerintah. Dengansistem SC bisadiberlakukan tender keperusahaan yang bisamenawarkanongkos paling rendah. Initidakmungkindilakukanjikasistemnya KPS," kataKuntoro. DPR danDepartemenPertambangansetujusistemKontrakKerjaSama yang fleksibel, tapitetapmemberikantekananbahwasistem KPS yang akanmenjadipilihanutamadalammenjalinkerjasamadenganswasta.
HASIL KAJIAN PARA PAKARDR. KURTUBI SuaraKarya : Jumat, 8 Juli 2005, "BilakembalipadaMr Mohammad Hassan (1951) danmengacupadaKontrak Production Sharing Libya, polabagihasilmigas Indonesia selamainitidakmenguntungkannegara." Dr Kurtubidalamsuatuberita media massamengakumendengarihwalpenggunaandana cost recovery yang tidaksesuaidenganupayameningkatkanproduksimigasdi Indonesia. Direktur Center for Petroleum and Energy Economics Studies (CPEES) inimenyebutkanbahwakenaikanbiayaproduksimigasdari 2,2 miliardolar AS padatahun 1999 menjadi 4 miliardolar AS padatahun 2004 tidakdisertaidengankenaikanproduksimigas, malahsebaliknya, penurunanproduksimigasdari 1,5 jutabarel per hari (bph) menjadi 1 jutabph.
HASIL KAJIAN PARA PAKAREvita Herawati Legowo, Dirjen MIGAS Dirjen MIGAS Evita Herawati Legowo mengatakan, kontrak tanpa cost recovery merupakan salah satu kontrak bentuk baru. "Kami sedang mengkaji kontrak bentuk lain, salah satunya kontrak tanpa cost recovery itu," kata Evita di Jakarta, Senin (28/7). Pada Oktober 2008 tersebut, lanjutnya, pemerintah akan menawarkan setidaknya 25 blok migas. Selama ini kontrak yang dipakai investor adalah kontrak bagi hasil (PSC) dengan memakai cost recovery meski sesuai aturan dimungkinkan bentuk lain.
HASIL KAJIAN PARA PAKARDr. Rudi Rubiandini Rudi Rubiandinimengatakan, recovery cost kedepansebaiknyamenjadibebanlangsungkontraktor. Tidaklagiperlulewatpenggantiandaripemerintahseperti yang dilakukanselamaini. Perubahanteknisperhitunganbagihasilperludiubah. Hal inidisampaikannyadidalam Seminar AnalisisKontrakBagiHasilIndustriMigasdi Indonesia danAlternatifnya, Sabtu (6/12) diKampusInstitutTeknologi Bandung. Caranya, yaitutidaklagimenggunakanpenghitunganbagihasil 85:15. Atau, 85 persenkeuntunganbagihasil plus recovery cost untukpemerintahdan 15 persenuntukkontraktor. Penghitunganidealnyamenjadisepertiini : keuntunganpemerintahadalah X, sementarakontraktor (100 x) % plus recovery cost. Sehingga, pembagianitunantinyabisa 60 : 40. Tapi, pemerintahtidakperlumenanggung recovery cost yang jumlahnyaitukerapmenggelembungdanrentanpenyimpangan. Keuntungannya, mendorongefesiensipadakontraktor. Demiefisiensiinidengansendirinya, kontraktorakancenderungmemanfaatkansumberdayalokal yang tentulebihmurah. Fungsikontroldaripemerintah pun akanberkurang, tuturnya.
HASIL KAJIAN PARA PAKAR Mohammad Hassan, Ketua Komisi Perdagangan dan Industri DPR Sejalan dengan praktik di Libya, pada Agustus 1951, Mr Mohammad Hassan, Ketua Komisi Perdagangan dan Industri di Dewan Perwakilan Rakyat mengusulkan agar pembagian 50%-50% diambil dari hasil produksi, tanpa ikut serta dalam pembiayaan operasi. Pada Maret 1954, Pemerintah RI dan Stanvac mencapai kata sepakat untuk memperbarui konsesi Stanvac dengan ketentuan antara lain penerapan perpajakan yang akhirnya menghasilkan pembagian 50%-50% dengan jangka waktu konsesi untuk empat tahun. Kemudian, hasil tersebut diikuti oleh Konsesi Caltex dan Shell. BP Migas tidak perlu lagi terlibat jauh sebagai manajemen dan tidak perlu menyibukkan diri dengan perhitungan bagi hasil yang rumit, namun cukup dengan mengecek gross production-nya saja (baca: lifting). Terakhir, fungsi audit akhirnya juga tidak menjadi faktor penting. Pertanyaannya, siapa yang mau sungguh-sungguh membela kepentingan negara dan mencintai negerinya sendiri? Dengan BP Migas mengacu pola "rumit", BPK-RI selaku supreme di bidang audit keuangan negara, sangat diharapkan kiprahnya dalam meningkatkan fungsi pertanggungjawaban BP Migas terutama dalam hal audit cost recovery.
HASIL KAJIAN PARA PAKARLuluk Sumiarso PemerintahBakalUbahKontrakMigas, Koran Tempo - Monday, 19 May 2008 -- Departemen ESDM mempersiapkanjeniskontrakminyakdan gas (migas) barusebagaialternatif lain darikontrakbagihasil (production sharing contract/PSC). Dalamkontrakbarutersebut, pemerintahtidakakanmemberikanpenggantianbiayaproduksi (cost recovery). DirekturJenderalMinyakdan Gas BumiLulukSumiarsomengatakan, meskitanpapenggantian cost recovery, kontraktormasihtertarikmenanamkanuangdibisnisminyak. Alasannya, katadia, kontraktanpabiayaproduksiiniberpotensimempercepatkegiataneksplorasi. "Inimasihmenarik, kamisudahmenanyaimereka (investor)," ujarnya. Lulukmenjelaskan, bilatanpapenggantianbiayaproduksi, bisamempercepatpengambilankeputusan. "Kalaudengan cost recovery, lama," katanya. Alasannya, seluruhanggaranbakaldiperiksa BPMIGAS. Dalamkontraktanpabiayaproduksi, risikoditanggung investor. Dengancaraini investor menjadilebihhati-hatidanefisien. Nantinya, investor bisamemilihantarakontrak PSC yang menawarkangantibiayaproduksidankontraktanpabiayaproduksi. "Kamibukadua-duanya," ujarLuluk. Pemerintah, katadia, saatinisedangmerevisiunsurbiayaproduksidalamkontrakbagihasildenganmemberlakukan ring fencing per lapanganproduksi. Sebelumnya, kontraktormigasmemperolehbiayaproduksiapabilasalahsatulapangandalamsatublokdinyatakanproduktif. Namun, dalamrevisiini, penggantianbiayaproduksihanyapadalapangan yang produktif. Sehinggalapangan lain, jikatidakproduktif, tidakmendapatbiayaproduksi, meskiberadadalamsatublok. "Tidakadabiayaproduksimeskidibloksama. Jaditidakadabebannegara," katanya.
KESIMPULAN & SOLUSI • Prioritas pertama, perubahan kontrak PSC menjadi Kontrak TANPA Cost Recovery dapat dilakukan untuk blok yang sudah produksi dan akan diperpanjang • Prioritas kedua, perubahan kontrak PSC menjadi Kontrak tanpa cost recovery dapat dilakukan untuk blok yang sudah produksi melalui amandemen kontrak yang masih berjalan. • Acuan GOVERNMENT TAKE adalah historical data + 10%. Angka 10% ini sebagai kompensasi atas pembebasan birokrasi approval POD, WP&B, AFE, TKDN, MASTER LIST, dan PENGADAAN (PTK-007). • Untuk proteksi pekerja MIGAS, aturan RPTK masih bisa diberlakukan. • Implementasi kontrak tanpa cost recovery dilakukan melalui tender, dipilih kontraktor yang paling besar menawarkan government take dari gross lifting. • Persentase contractor take dapat dibuat berbeda-beda tergantung tingkat kesulitan blok dan lifting costnya masing-masing.
KESIMPULAN & SOLUSI • Persentase contractor take dapat dibuat progresif sebagai insentif peningkatan produksi, terbalik dengan model PSC sekarang. • Daya tarik investor masih tingggi karena ada kewenangan sendiri, keputusan lebih cepat, bisa menikmati langsung upaya efisiensi, tidak perlu birokrasi berbagai persetujuan. • Aturan pajak dan importasi barang diberlakukan sama dengan industri lain. • Sudah banyak penelitian, usulan, argumentasi, dari para pakar, pejabat pemerintah dan DPR untuk menerapkan kontrak tanpa cost recovery, namun sampai saat ini belum berhasil. Hal ini ditengarai karena ada kepentingan politik dan kepentingan bisnis tertentu yang selalu menghalangi diterapkannya bentuk kontrak tanpa cost recovery, meskipun perundang-undangannya telah membuka ruang.