330 likes | 665 Views
SEMILOKA, 13 Desember 2012 MENUJU KAWASAN HUTAN YANG BERKEPASTIAN HUKUM DAN BERKEADILAN Politik Pengelolaan Sumberdaya Alam Dalam Perspektif Otonomi Daerah. Oleh : Dr. Tri Hayati,S.H,M.H Staf Pengajar FHUI. PEMBAHASAN. I. Konsep Penguasaan Negara terhadap SDA;
E N D
SEMILOKA, 13 Desember 2012MENUJU KAWASAN HUTANYANG BERKEPASTIAN HUKUM DAN BERKEADILANPolitik Pengelolaan Sumberdaya AlamDalam Perspektif Otonomi Daerah Oleh : Dr. Tri Hayati,S.H,M.H Staf Pengajar FHUI
PEMBAHASAN I. Konsep Penguasaan Negara terhadap SDA; II. Perubahan Paradigma Otonomi Daerah Era Reformasi : Kewenangan Pengelolaan SDA; III. Kewenangan Pengelolaan antar Sektor; IV. Permasalahan Pengelolaan Sumberdaya Alam.
I. KONSEP PENGUASAAN SDA Pasal 33 (3) UUD 1945 FILOSOFI BUMI ( AGRARIA ) ( UU 5/1960) MINERBA (UU 11/67jo. UU 4/2009 MIGAS (UU 22/2001) AIR (UU 11/74 Hutan UU 41/1999 DIKUASAI NEGARA (authority Right) MILIK BANGSA INDONESIA (Mineral Right) Diusahakan oleh Perusahaan (Mining Right)
I. KONSEP PENGUASAAN SDA • Pasal 33 ayat (3), menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. • Mengandung makna bahwa : Hak penguasaan (Authority Right) atas SDA berada ditangan Negara dan dilaks oleh Pemerintah. Hak kepemilikan (Mineral Right) atas sumber daya alam dikenal sebagai Hak Bangsa, yang berarti berada di tangan seluruh rakyat. Hak penambangn(mining right) dilaks oleh pengush
pengembankata “Negara” dalam pengelolaan SDA brarti, memilikikedaulatandimanamerupakancharacter state yang dijalankan oleh PEMERINTAH. • Dengan perkataan lain peranPemerintahsebagairegulatortidakmungkin diderivasi kepadadaerahotonom, karena daerah otonom tidakmemilikicharacter state yang berarti kewenanganbertindakkedalamdankeluar Negara.
Filosofi Penguasaan Tambang
SDA mrpk “public ownership” yang memiliki sifat kepentingan publik (public interest) dan terhadap objek tersebut terkandung hak kepemilikan oleh publik (masyarakat ). • Dengan demikian izin pemanfaatan yang diberikan akan berdampak pada kewenangan yang besar, karenanya perlu dijabarkan/dibatasi thd hak dan kewajiban bagi penerima izin yang dituangkan dalam suatu perjanjian. • JADI IZIN PUBLIK (KHUSUS) SBG PENGENDALI PENGELOLAAN SDA DI INDONESIA
STRATEGI PENYUSUNAN KEBIJAKAN PASAL 33 UUD 1945 : “Bumi, air & kekay alam yg terkandung didlmnya dikuasai oleh Neg & dpergnkn utk sebsr-2 kemakmrn rakyat.” -mengamanatkan pengelolaan SDA secara optimal untuk kemakmuran rakyat, namun dikelola dengan arif dan bijaksana agar tidak merusak lingkungan. -NEG MEMP KEWAJ MENGATUR PENGGUNAAN & PENDISTRIBUSIAN SDA UTK KEMAKMURAN RAKYAT Pengelolaan SDA menjadi jembatan utk memperbaiki perekonomian nas melalui pengelolaan SDA untuk kepentinganseluruh Stakeholder (kesejrakyat, penerimaanneg&keuntungan perushaan).
Bentuk Pengelolaan SDA dlm Sejarah • MASA KOLONIAL : KONSESI I (AGRARISCHE WET 1870) dan KONSESI II (PASAL 5 INDISCHE MIJNWET 1899): Membuka peluang bagi investor asing, khusus Belanda melaluiKonsesi di bidang pertambangan. • Pasal 5A IMW 1899( KONTRAK 5 A )1910 – 1960 : Membuka peluang bagi investorAsing non Belanda melalui KKP(kontrak karya pertambangan)Dengan Pemerintah Belanda
II. Perubahan Paradigma Era Reformasi : • Reformasi Pemda (UU 22/1999) membawa perubahan makin besarnya otda di Pemda. • Membawa perubahan pula dalam kewen. pengusahaan SDA. • Terjadi berbagai permasalahan kewenngn pemberian perizinan SDA
UU No. 22/1999 Jo. PP 25/2000 : menganut penyerahan urusan pemerintahan kepada Provinsi dengan merinci sejmlah kewenangan yang diserahkan (ultra vires doctrine), sdgkn penyerahn urusan pemerintahn kpd Kabupaten dan Kota dengan rumusan umum (open end arrangement). • UU No.32/2004 Jo. PP 38/2007 : menganut penyerahan urusan pemerintahan kepada Provinsi dengan merinci sejmlah kewenangan yang diserahkan (ultra vires doctrine).
URUSAN WAJIB : adalah urusan yg sangat mendsr yg berkaitan dg hak dan pelayanan dasar warga Negara, al : a) perlindungan hak konstitusional, b) perlindungan kepentingn nas, kesejahteraan masy, ketentraman dan ketertiban umum dlm kerangka menjaga keutuhan NKRI, c) pemenuhan komitmen nasional yg berhubgn dg perjanjian dan konvensi internasional. (Penj. Ps 11 UU No.32/2004)
Urusan wajib yang menjadi kewenangan kabupaten/ kota: a) perencanaan dan pengendalian pembangunan, b) perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang, c) penyelenggaraan kepentingan umum, d) penyediaan sarana dan prasaran umum, e) penanganan bidang kesehatan, f) penyelenggaraan pendidikan, g) penanggulangan masalah social, h) pelayanan bidang ketenagakerjaan, i) fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah, j) pengendalian lingkungan hidup, k) pelayanan pertanahan, l) pelayanan kependudukan dan catatan sipil, m) pelayanan administrasi umum pemerintahan, n) pelayanan administrasi penanaman modal, o) penyel pelayanan dasar lainnya yg diamanatkan oleh peraturan perundnag-undangan.(Ps 14 ayat 1 UU 32/2004)
Urusan Pilihan : meliputi ursn yg scr nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masy. sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah ybs. (Ps 14 ayat 2 UU No. 32/2004)
Hubungan dalambidangpemanfaatansumberdayaalam dan sumberdayalainnya antaraPemerintah dan Pemerintah Daerah, dirincisebagaiberikut (Ps 17 ayat 1 UU 32/2004) : • kewenangan, tanggungjawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendaliandampak, budidaya dan pelestarian; • bagihasil atas pemanfaatansumberdayaalam dan sumberdayalainnya; • penyerasian lingkungan dan tata ruang serta relabilitasi lahan.
Hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya, antar Pemerintahan Daerah, meliputi (Ps 17 ayat 2 UU 32/2004) : (a) pelaksanaan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang menjadi kewenangan daerah; (b) kerjasama dan bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antar pemerintahan daerah; (c) pengelolaan perizinan bersama dalam pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya.
KEWENANGAN Sektor2 di Daerah PARAREL dg kewenangan otonomi daerah : IZIN diberikan oleh : a. bupati/walikota apabila kegiatan pengelolaanSDA berada di dalam satu wilayah kabupaten/kota; b. gubernur apabila kegiatan pengelolaan SDA berada pada lintas wil. kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari bupati/walikota setmpt sesuai dg ketentuan perat. per-UU-an c. Menteri apabila kegiatan pengelolaan SDA berada pada lintas wilayah provinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota setempat sesuai dg ketentuan peraturan perundang-undangan.
Permasalahan Pengelolaan SDA OTONOMI DAERAH Paradigma Daerah yang Euforia (berlebih) thd Kewenangan yg dimiliki Namun tdk dibarengi dengan mekanisme pengendalian pengurusan IZIN oleh Kementerian Pelimpahan Wewenang Pengurusan terhadap SDA • - KESEWENANG-WENANGAN dlm Pengelolaan SDA • - Transparansi tidak berjalan • - Ketidakpastian Hkm dlm penentuan Kawasan • - Pengendalian dan Pengawasan Pusat LEMAH • Otonomi Daerah yg mengaburkan fungsi Pengawasan (Kemendagri merasa tdk memiliki kompetensi mengawasi Kept.AN yg dibuat Daerah dan Kement.Teknis juga merasa tdk memiliki kewen utk mencabut Kept.AN yg dibuat Daerah
Putusan MK45 : berdsrkn Ps 1(3) UU Kehutanan, mk pengukuhan kawasan hutan di Ind. dpt dilakkn oleh Pem dg cara : (i) penunjukan (dilakukan Pem. Sec. lsg tanpa melalui prosedur tertentu utk mengukuhkan suatu kawasan hutan = Kewen. Atribusi bebas)) dan atau; (ii) penetapan (dipersyaratkan adanya prosedur tertentu baru dapat dikukuhkan oleh Kementerian Kehutanan untuk suatu kawasan hutan = kewen. atribusi terikat) Putusan MK45 menyatakan bhw kata “ditunjuk dan atau” dalam Pasal 1 (3) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, adalah inkonstitusional dan tidak dapat diterapkan.
Dengan dikeluarkan nya putusan MK45, berdasarkan asas non retroaktif maka status kawasan hutan yang sebelum putusan MK45 dikukuhkan sebagai kawasan hutan berdasarkan penunjukan tetap berlaku sah. • Adapun masalah yang dapat ditimbulkan dapat diselesaikan dengan melakukan penetapan kembali sesuai prosedur hukum yang berlaku.
Kewenangan pengelolaan pertambangan, dalam UU Minerba 4/2009 dinyatakan bahwa : • (a) Pemerintah Pusat menetapkan Wilayah Pertambangan (kebijakan dan pengelolaan nasional), • (b) Provinsi menetapkan kebijakan dan pengelolaan regional, • (c) Kabupaten/Kota menetapkan kebijakan dan pengelolaan lokal. • Dalam UU No.11/1967 menetapkan bahwa : kebijakan dan pengelolaan bahan galian tambang terutama untuk golongan a (strategis) dan golongan b (vital) bersifat nasional dan kewen pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintah.
Kuasa Pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) PP 75/2001, dapat diberikan oleh : • Bupati/Walikota apabila wilayah Kuasa Pertambangan-nya terletak dalam wilayah Kabupaten/Kota dan/atau di wilayah laut sampai 4 (empat) mil laut; • Gubernur apabila wilayah Kuasa Pertambangannya terletak dalam beberapa wilayKabupaten/Kota dan tidak dilakukan kerja sama antar Kabupaten/Kota maupun antara Kabupaten/Kota dengan Propinsi, dan/atau di wilayah laut yang terletak antara 4 (empat) sampai dengan 12 (dua belas) mil laut; • Menteri apabila wilayah Kuasa Pertambangannya terletak dalam beberapa wilayah Propinsi dan tidak dilakukan kerja sama antar Propinsi, dan/atau di wilayah laut yang terletak di luar 12 (dua belas) mil laut
Tumpang tindih Tambang&Hutan • Peraturan MenHut No. P.18/Menhut.II/2011 ttg “Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan” : penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pemb. di luar kegiatan kehutanan hny dpt diberikan dalam kawasan Hutan Produksi dan/atau Kawasan Hutan Lindung (Pasal 3). Kesempatan untuk melakukan kegiatan di kawasan hutan diberikan dalam konteks pemanfaatan bsama untuk kepentingan masyarakat, tentunya tanpa mengabaikan kelestarian lingkungan hidup.
Untuk melakukan kegiatan penambangan di kawasan hutan wajib tunduk pada kebijakan yang dibuat bersama antara Kement. Kehutanan dan Kement ESDM yang berpedoman pada UU No. 41/1999 tentang “Kehutanan”. • UU Kehutanan menentukan bhw penggunaan kawasan hutan untuk kepent. pemb. diluar kegiatan kehutanan, dilakk melli pemberian izin pinjam pakai tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan. • Izin pinjam pakai bertujuan utk membatasi, mengen dalikan dan mengatur penggunaan kwsn hutan utk kepent. strategis atau utk kepent. umum.