180 likes | 687 Views
Perbandingan Pendidikan. Sejarah Pendidikan Indonesia. Kolonial Sekolah pertama didirikan di Ambon. Untuk anak Indonesia krn anak Belanda belum ada Tujuan melenyapkan agama katolik,menyebarkan protestan. Pendidikan utk kecerdasan belum lahir.
E N D
Perbandingan Pendidikan Sejarah Pendidikan Indonesia
Kolonial Sekolah pertama didirikan di Ambon. Untuk anak Indonesia krn anak Belanda belum ada Tujuan melenyapkan agama katolik,menyebarkan protestan. Pendidikan utk kecerdasan belum lahir. Th 1630 an didirikan sekolah di Jakarta untuk anak Indonesia & Belanda.Tujuan menjadi tenaga kerja yang kompeten untuk VOC. Penddkn utk penyebaran agama Kristen. Pengajarannya individual. Problem bahasa pengantar. Tahun 1816 an. Sekolah bagi anak Belanda. Kurikulum mengalami perubahan radikal. Dipengaruhi ide liberalisme, orang menaruh kepercayaan akan kekuasaan pengetahuan yg diperoleh mll penelitian empiris. Penddkn bukan lagi memupuk rasa takut pada Tuhan melainkan ditujukan pada pengembangan intelektualitas. Sekolah bagi anak Indonesia. Penddkn utk anak kaum ningrat yg punya kekuasaan. Penddkn utk mendidik anak menjadi pegawai perkebunan – seiring dg tanam paksa. Doidirikan departemen Pendidikan & Agama.
Sebelum reorganisasi 1892. Sekolah rendah sebelum 1982 sekolah yg sederhana, fasilitas tidak memadai. Murid terutama laki-laki. Sekolah di luar Jawa melebihi Jawa, lambat laun Jawa menjadi pusat pendidikan. Sekolah rendah diizinkan memperluas programnya sehingga mendekati rencana Sekolah Guru. Mulai dimasuki anak golongan rendah. Karena krisis Belanda Mengeluarkan kebijakan diferensiasi dalam pendidikan anak-anak golongan atas dan rendah.
Sekolah Kelas Satu. Khusus kaum bangsawan. Lama 5 tahun. Kebanyakan di Jawa. Dimasukkan bahasa Belanda dalam kurikulum. Sekolah ini masih ketinggalan dibandingkan sekolah rendah untuk bangsa Belanda. Tidak memberi persiapan yang cukup untuk menjadi pegawai rendah dan Tidak membuka kesempatan untuk melanjutkan pelajaran. Bahasa belanda diajarkan sejak kelas satu. Perpanjangan belajar menjadi 7 tahun.
Sekolah Kelas Dua. Timbul karena Belanda tidak mampu menyediakan pendidikan yg sama bagi semua anak Indonesia. Kurikulumnya dijaga jangan sampai sama dengan kelas satu. Untuk mengaburkan Penggolongan, ttp yang terjadi menegaskan penggolongan. Meninjukkan Belanda tidak punya perencanaan yang komprehensif ttg pendidikan. Sekolah trial error, dengan senantiasa mengadakan perubahan menurut keadaan zaman. Pendidikan terus diberikan, pendidikan sederhana untukorang banyak, dan Pendidikan yang baik untukgolongan elite yang kecil.
Sekolah Desa (Volkksschool). • Tujuan: penyebaran pendidikan seluas mungkin dengan biaya rendah, utk kesejahteraan. • Pemerintah memberikan bantuan keuangan. Perkembangannya baik, yg sebelumnya tdkpernah tercapai oleh sekolah penjajahan Belanda. • Kurikulum: membaca,menulis & berhitung. • Mulai ada pelarangan tindak kekerasan atau paksaan. • Masih diragukan apabila diserahkan kepada desa yg dengan suka rela menyerahkan anaknya ke sekolah berdasar keputusannya sendiri. • Angak putus sekolah tinggi, kurang minat penduduk akan lembaga pendidikan yg dipaksakan, tidak akan merupakan bagian integral dari kehidupan masyarakat. • Merupakan paradoks, rakyat desa yg ekonomi lemah diharuskan mendirikan sekolah yg bermutu rendah, sedangkan golongan menengah ke atas diber pendidikan yg lebih baik tanpa keharusan mendirikan bangunannya. Tidak ada kebebasan kurikulum. • Ada pembatasa kurikulum, harapannya lulusan tidak mampu bekerja di kantor melakukan pekerjaan administrasi, agar tidakmeninggalkan desanya. • Tujuan utama pemberantasan buta huruf, namun tidak tercapai krn pertambahan jumlha penduduk setiap tahun. • Sekolah desa menjadi substruktur bagi sekolah sambungan, sama dengan kedua kelas terakhir Sekolah Kelas Dua. • Sekolah desa dikecam sbg sekolah yg bermutu rendah. Namun sekolah ini merupakan penyebaran pendidikan yg luas, karena ada di desa, penyebar buah pikiran barat. Menyadarkan masyarakat akan pentingnya pendidikan. Meletakkan dasar untukpendidikan universal.
ELS (Europese Lagere School). Belanda mengakui kemampuan anak Indonesia dalam segala pelajaran walaupun pengantarnya bahasa Belanda. Pada hakikatnya pendidikan dipandang orang Belanda sbg bahaya potensial bagi minoritas oraang Belanda yg jumlahnya 200 kali lipat. Pendidikan hanya diberikan untuk memenuhi kebutuhan pegawai pemerinbtah & perusahaan Belanda. Mereka memberi kesempatan seluas-luasnya anak-anak Belanda utk sekolah. ELS banyak dimasuki anak Belanda yg menikahi pembantunya dari pada anak priyayi. Pola sekolah: sekolah rendah 7 th. Selama pemerintahan Belanda tidak pernah terwujud sekolah menengah berbahasa Indonesia. Budaya Belanda terus dimasukkan ke rakyat Indonesia, kesadaran tidak menguasai bahasa Belanda mencekan orang Indonesia dg rasa inferior dlm menghadapi orang Belanda. Kurikulum ELS ditetapkan di Nederland tdk mungkin relevan dg kebutuhan anak Indonesia. ELS dipertahankan demi kepentingan segelintir anak yg mungkin kembali ke tanah airnya.
HCS (Hollands Chinese School). • Sekolah sbg alat politik untuk mencegah orang Cina menjadi tak loyal thd Belanda. • Rasa takut kehilangan loyalitas cina mendorong Belanda menawarkan kesempatan belajar yg paling baik yg ada, yakni HCS yg membuka kesempatan untuk memasuki MULO maupun HBS. • Lahirnya HCS menimbulkan rasa tak puas yg serius di kalangan Indonesia menuntut sekolah yg sama derajadnya. • Bagi Belanda sulit menolaknya,apalagi setelah lahir Budi Oetomo dan Serikat Islam menjadi penyambung lidah bangsa Indonesia.
HIS (Hollands Inlandse School). Lahirnya HIS wajar, karena Sekolah Kelas Satu makin banyak kritikan akan kelemahannya yakni lulusan tidakmemiliki kedudukan yg baik, dan lulusannya menjadi golongan yg tak puas akan keadaan. Desakan Budi Utomo & Serikat Islam agar reorganisasi Sekolah Kelas Satu. Belanda tidak bisa mengelak karena adanya HCS (untuk Cina). Pembukaan HIS disukung oleh ekonomi yg meningkat, perluasan wilayah pemerintahan Belanda di luar Jawa. Menyebabkan kebutuhan pegawai berpendidikan. Dilema bagi belanda,dengan adanya sekolah ini menjadikan penguasaan bahsa Belanda meningkat, kekhawatiran Belanda apabila Indonesia menuntut persamaannya dengan Belanda. HIS titik penting bagi sejarah pendidikan Indonesia, inilah sekolah pertama untuk orang Indonesia yg memiliki kedudukan yg sama dengan oraang Belanda. HIS mrp jalan utamaa untuk mobilitas sosial. Awalnya untuk anak elite, tetapi banyak dimasuki anak golongan rendah. Belanda tidak menunjukkan diskriminasi yang ketat, mereka sadar suatu saat Indonesia akan dikuasai oleh raja-raja Indonesia. Belanda menghormati raja-raja yg suatu saat akan memerintah tanah jajahannya. Kurikulum sudah mulai dikritik. Anak didik lebih mengenal Belanda dari pada Indonesia (Geografi, Sejarah, Budaya). Lembaga pendidikan ini sebagai penghasilpegawai, bukan sebagai lembaga pendidikan umum.
MULO (Meer uitgebreid Lager Onderwus) Faktor didirikannya MULO, Banyaknya lulusan kelas satu; Anak Cina telah memiliki Kesempatan sekolah di HCS. MULO untuk membendung invasi anak-anak Indonesia Ke ELS. MULO sebagai lambang pendidikan nonrasial. Dari sekolah MULO timbul intelektual baru. Mengganti pendidikan yang tidak serasi Persipan calon pendidikan pegawai, ahli hukum, dokter.
HBS (Hogere Burgerschool) & AMS (Algemense Middelbare School). Sekitar tahun 1860 an anak-anak Belanda memperoleh kesempatan utk diper- Siapkan memasuki universitas di Nederland. HBS menyajikan kurikulum modern, Bahasa Modern, matematika, IPA. Sekolah ini diperuntukkan bagi anak-anak yang akan kembali ke Nederland, Oleh karenanya sekolah ini dikonkordansi sampai berakhirnya masa penjajahan Belanda. HBS satu-satunya sekolah untuk persiapan ke PT dan bermutu tinggi. Guru berkualitas, standar akademis yg tinggi yang dituntut dari murid-muridnya. Seleksi ketat untuk staff pengajar. HBS berorientasi penuh pada penddikan Belanda, anak Indonesia masuk dengan syarat bahasa Perancis, yg tdk diajarkan di HIS. Namun realitanya Anak Indonesia meningkat & menunjukkan hasil yg lebih baik.
Politik Pendidikan Kolonial 1. Dualisme: Sekolah untuk anak Belanda & pribumi. Pendidikan utk mempertahan- kan perbedaan sosial dan bukan mobilitas sosial. 2. Gradualisme: pendidikan rendah sesederhana mungkin untuk orang Indonesia. 3. Konkordansi: Sekolah menjadi agen kebudayaan barat. 4. Kontrol sentral yg ketat. 5. Tidak ada perencanaan sistem pendidikan yg sistematis. 6. Pendidikan pegawai.