E N D
Enam Keputusan untuk Bali Di sela-sela acara retreat tiga hari di Istana Tampak Siring, Bali (Senin-Rabu) ini saya sempat “mencuri” waktu melihat proyek PLTU di Celukan Bawang yang sudah tiga tahun macet itu. Inilah salah satu proyek yang membuat listrik di Bali byar-pet. Kalau saja proyek 3×135 MW ini selesai tepat waktu alangkah cukupnya listrik di Bali saat ini. Tapi menyesali keadaan saja tidak cukup. Yang penting, sejak dua bulan lalu krisis listrik di Bali sudah berakhir. Tidak ada lagi byar-pet. Meski sifatnya masih pas-pasan. Masih belum bisa memenuhi antreaan daftar tunggu yang sangat panjang itu. Itulah sebabnya saya harus banyak membuat keputusan untuk Bali. Tidak terasa, selama empat bulan menjabat Dirut PLN ini, saya sudah membuat enam keputusan penting untuk Bali. Pertama, saya harus mengambil langkah darurat untuk mengatasi byar-pet. Ini sudah berhasil dilakukan oleh teman-teman PLN di Bali meski baru pas-pasan. Kedua, memutuskan untuk mencari tambahan daya listrik sebesar 30 dan 50 MW agar yang pas-pasan tadi bisa sedikit longgar. Ini sangat penting untuk jaga-jaga. Misalnya kalau ada salah satu mesin yang tiba-tiba mati. Atau ada mesin yang sudah tiba waktunya harus dimatikan untuk dipelihara. Keputusan ketiga adalah memasang kabel bawah laut dua sirkuit lagi. Ini untuk mengalirkan listrik dari Jawa ke Bali. Dengan tambahan dua sirkuit kabel bawah laut ini, Bali akan bisa dapat tambahan daya 200 MW. Tender untuk proyek ini dilakukan. Dua minggu lalu sudah diumumkan pula pemenangnya. Sayangnya, proyek kabel bawah laut di Selat Bali itu hanya bisa dikerjakan pada bulan September-Oktober. Bulan-bulan lain sangat berbahaya. Palung di laut itu dalamnya 90 meter. Sebenarnya saya ingin memaksakan kabel itu sudah bisa digelar September depan, tapi kabelnya belum bisa jadi. Terpaksa penggelaran kabel bawah laut itu baru akan bisa dilakukan September-Oktober tahun depan. Keputusan cepat menambah kabel bawah laut ini ada latar belakangnya. Sebenarnya sudah ada rencana lama, lamaaa sekali, bahwa PLN akan membangun jaringan 500 kv tapi tidak di bawah laut. Melainkan di udara. Saya minta program ini didiskusikan lagi. Saya ingin melihat mungkinkah bisa dilakukan dalam waktu dekat. Ternyata diskusi-diskusi kabel udara menuju Bali ini penuh dengan pro-kontra. Sebab untuk menyeberangkan transmisi itu di atas Selat Bali perlu infrastruktur khusus. Perlu dibangun tower gigantik di sisi Banyuwangi dan di sisi Gilimanuk. Tinggi tower itu harus antara 350 sampai 400 meter. Saya langsung membayangkan tingkat kesulitan dan resikonya. Maka langsung saja rencana itu saya batalkan. Lebih cepat dan realistis kalau lewat bawah laut. Saya minta lima orang dari bagian perencanaan untuk segera belajar ke Tiongkok. Di Tiongkok baru saja selesai pemasangan kabel bawah laut dari propinsi Guangdong ke Pulau Hainan sejauh 44 Km. Sedang Selat Bali ini hanya 4 Km. Maka kabel bawah laut di Selat Bali bisa ditenderkan. Pemenangnya dari Eropa. Keputusan keempat adalah bagaimana agar proyek PLTU yang sudah macet tiga tahun itu bisa berjalan kembali. Karena itu Senin sore kemarin saya paksakan melihat lokasi ini. Jaraknya tiga jam berkendaraan dari Tampak Siring menuju ke pantai utara Bali. Beruntung, investor proyek ini sangat kooperatip. Mau menceritakan apa saja kesulitan yang dihadapi. Terutama dalam menggandeng partner. Padahal begitu banyak investor yang datang ke PLN yang ingin membangun PLTU di Indonesia. Tinggal pilih salah satunya. Maka ketemulah jalan keluar untuk mengatasi kemacetan proyek ini: “kawin!” Tiga bulan lagi proyek ini harus berjalan. Saya membayangkan betapa sulitnya Bali kalau proyek ini macet. Begitu PLTG Gilimanuk berhenti, sepertiga Bali padam! Keputusan kelima saya ambil mendadak kemarin pagi. Pagi itu saya lagi makan pagi di Ubud bersama GM Distribusi Bali Dadan Kurniadipura, GM Indonesia Power (anak perusahaan PLN), Antonius Reseptyas Artono dan stafnya. Sambil menunggu keberangkatan ke Istana Tampak Siring saya ingin mendapat gambaran Bali ke depan. Astaga! Antonius melaporkan bahwa bulan Juli nanti PLTG Gilimanuk harus berhenti beroperasi.”Sudah tiba waktunya untuk pemeliharaan,” ujar Antonius. Saya langsung menaruh sendok saya. Apa? Berhenti? Gilimanuk yang punya kekuatan sepertiga Bali itu harus berhenti? Bulan Juli? Saya langsung membayangkan sepertiga Bali akan padam. Akan geger lagi. Baru dua bulan ini Bali menikmati kecukupan listrik meski pas-pasan, sudah akan sengsara lagi. Apa kata dunia? Untungnya teman-teman di Bali punya jalan keluar. Yang diperlukan adalah keputusan. Yakni menyewa pembangkit 80 MW yang harus siap sebelum Juli. Kalau ditambah dengan pemasangan yang 30 dan 50 MW, maka teoritis teratasi. Persoalannya adalah biaya. Menyewa pembangkit 80 MW bukan barang yang murah. Tambahan BBM-nya saja sudah selangit. Di saat rakyat masih menolak kenaikan TDL, keuangan PLN akan terus belepotan. Tapi jalan keluar harus ditemukan agar penyewaan ini tidak terlalu memberatkan PLN Bali. Ada titik terang. Sewa 80 MW itu hanya diperlukan waktu beban puncak selama lima jam saja. Antara pukul 5 sore sampai 10 malam. Harga sewanya pun murah. Dibuka saja di sini: paling tinggi Rp 1.400/kwh. Persoalannya: maukah pemilik mesin itu hanya disewa 5 jam sehari? Tentu tidak. Harus 24 jam. Lalu bagaimana? Teman-teman di Bali punya pemikiran yang istimewa. Mesin sewaan itu bisa dijalankan 24 jam. Justru mesinnya PLN sendiri yang dimatikan. Apakah ini tidak terkesan menguntungkan “orang lain”? Tidak. Sebab mesin milik PLN itu borosnya bukan main. Jatuhnya lebih mahal: Rp 2.000/kwh. Selisih Rp 600/kwh. Maklum, PLN menggunakan pembangkit tahun 1974. Dengan demikian ide menyewa mesin 80 MW dadakan ini fisible dilakukan. Di samping bisa mengatasi krisis di Bali bulan Juli nanti, hitung-hitungan bisnisnya juga masuk. Keputusan keenam juga dibuat kemarin pagi: melakukan ad-on PLTG Gilimanuk. Ide ini sudah sangat lama. Bukan ide saya. Memang seharusnya begitu. PLTG Gilimanuk itu kapasitasnya bisa bertambah 70 MW tanpa harus tambah bahan bakar. Caranya: memanfaatkan panas yang dikeluarkan mesin itu untuk menghasilkan listrik. Meski ide ini sudah muncul sejak bertahun-tahun yang lalu tapi sulit dilaksanakan. Tanahnya sempit. Tidak ada ruang untuk memasang boiler dan aparatnya. Tanah di belakang mesin itu juga tidak bisa dibeli: hutan cagar alam. Maka setiap orang yang saya tanya mengapa tidak dilakukan ad-on di Gilimanuk, jawabnya seperti koor: tidak mungkin. Ide ini menguap begitu saja. Sampai saya ke Bali sekarang ini. Menurut Antonius sebenarnya masih ada tanah yang bisa dibeli. Tidak termasuk cagar alam. Tapi letaknya tidak persis di belakang mesin yang akan di-ad-on. Saya pikir, ini bukan hambatan. Ini bisa diselesaikan oleh tim desain dan engeneering. Boiler pasti bisa juga diletakkan di lokasi lain asal jangan jauh-jauh. Ini kan soal pemipaan dan desain lainnya. Maka hari ini juga tim PLN Pusat tiba di lokasi untuk melakukan perencanaan yang secara teknis bisa dipertanggungjawabkan. Walhasil, kapasitas Gilimanuk ini pasti bisa ditingkatkan. Bahkan Direktur Operasi Jawa-Bali, Ngurah Adnyana punya ide lebih radikal: sekalian tambahi unit kedua.Dengan keputusan-keputusan itu, listrik di Bali akan lebih jelas jluntrungannya. Sebenarnya masih ada satu lagi yang bisa diputuskan di Bali. Tapi yang satu ini saya tidak mampu memutuskan. Yakni mengenai listrik panas bumi di Bedugul. Sudah 15 tahun proyek ini macet. Pengeborannya sudah berhasil dilakukan. Uapnya pun sudah keluar. Waktu saya ke sana lima tahun lalu, saya melihat sendiri uap itu keluar dari bumi dengan hebatnya. Berada di dekat sumber uap itu seperti mendengar suara mesin pesawat Boeing 747 yang lagi take-off. Proyek ini tidak bisa dilanjutkan. Masyarakat adat Bali keberatan. Ini menyangkut kepercayaan. Yang satu ini saya menyerah. Saya akan minta tolong Gubernur Bali Pak Mangku Pastika (?) untuk mencarikan jalan keluarnya. Dahlan IskanCEO PLN