E N D
Sehari Satu Juta Sambungan Tidak ada lagi upacara bendera untuk memperingati Hari Listrik Nasional (HLN) tahun 2010 yang akan jatuh pada Rabu besok. Direksi PLN sudah sepakat hari listrik yang jatuh pada 27 Oktober itu akan diberi makna yang lebih substansif: memberikan pelayanan kepada masyarakat secara nyata dan luas. Apa bentuknya? Di antara berbagai ide yang muncul, dipilihlah satu ini: gerakan penyambungan listrik sebanyak-banyaknya. Seberapa banyak? Muncullah angka 1 juta sambungan yang harus diselesaikan dalam satu hari, tepat di Hari Listrik Nasional itu. Mengapa satu juta? Dasarnya adalah daftar tunggu yang sudah amat panjang di seluruh Indonesia. Konon, sudah 2,5 juta. Panjangnya antrean untuk mendapatkan listrik itu menjadi isu yang besar di negeri ini. Setara dengan isu korupsi, isu krisis listrik, dan isu buruknya pelayanan. Nama negara jatuh. Juga nama PLN. Panjangnya daftar tunggu itu sendiri tidak lain akibat krisis listrik yang berkepanjangan di masa lalu. Perumahan terus dibangun, tapi pembangunan pembangkit listriknya diabaikan. Pendapatan masyarakat terus bertambah, tapi kemampuan daya PLN justru menurun. Digambarkan bahwa daftar tunggu itu bukan hanya panjang, tapi juga ngeri: ada yang sudah lima tahun lamanya. Bayangkan orang minta listrik saja sampai harus menunggu lima tahun. Padahal, di bidang lain, telepon misalnya, perusahaan teleponlah yang justru berlomba cari pelanggan. Kalau enam bulan pertama 2010 lalu teman-teman PLN di bagian pembangkit listrik yang tegang (karena harus bisa mengatasi krisis listrik), enam bulan kedua 2010 ini ganti bagian distribusi yang kalang-kabut. Tidak gampang menyiapkan sambungan 1 juta sekaligus dalam satu hari. Tapi harus bisa. Toh daftar calon pelanggan sudah tersedia. Tiap hari saya melakukan pengecekan. Sudah seberapa siap gerakan penyambungan 1 juta sehari itu. Dari Jawa Timur, saya mendapat laporan mengejutkan. General Manajer PLN Jatim, Sulastyo memastikan, dengan gerakan satu juta sambungan ini, daftar tunggu di Jatim sudah bisa menjadi nol sama sekali. Pimpinan PLN Wilayah Jabar Taufik Haji juga menyatakan demikian. Di Jateng dari daftar tunggu 170.000, memang masih akan tersisa 40.000, tapi bukan akibat kelemahan pimpinan Wilayah Jateng Ferry Krisna. Sisa 40.000 itu terjadi karena si calon pelanggan belum memiliki uang untuk membayar biaya sambungan. Di Jakarta, saya mendapat cerita dari Kepala Divisi Niaga PLN Benny Marbun. Dia baru keliling ke rayon-rayon di Jakarta. Tiga hari sebelum tanggal 27 Oktober, ada satu rayon Ciputat yang sangat tertinggal. Di antara target yang dibebankan, baru 14 persen yang siap disambung pada hari itu. Ini bukan salah pimpinan di Ciputat. Daftar tunggu di rayon itu ternyata memang tidak sebesar yang tercatat selama ini. Dari laporan berbagai daerah memang ditemukan kenyataan ini: daftar tunggu itu ternyata tidak sebesar kenyataannya. Daftar tunggu 2,5 juta orang itu, misalnya, sangat mungkin nanti ternyata hanya sekitar 1,5 juta. Mengapa? Rupanya, selama ini banyak orang yang mendaftar melalui tiga jalur. Satu orang mendaftar ke perusahaan instalatir, tapi juga sekaligus mendaftar ke rayon. Ada pula yang masih mendaftar lagi ke PLN cabang. Banyak juga instalatir yang mendaftarkan ratusan perumahan baru, tapi sampai sekarang rumah-rumah tersebut belum jadi dibangun. Tentu ada juga penyebab lain. Ketika mendaftar dulu, dia sudah punya uang. Namun, ketika program 1 juta sambungan ini diluncurkan, uangnya sudah habis untuk keperluan lain. Berapa sih biayanya sampai ada yang tidak punya uang? Ternyata, seperti calon pelanggan di Ciputat itu, banyak yang mengira biayanya sampai Rp 1 atau Rp 2 juta. Itulah angka yang selama ini memang beredar di masyarakat. Sebuah angka yang jauh dari daftar resmi yang ada di loket-loket PLN. Inilah angka yang selalu menjadi perdebatan dan menimbulkan kesan negatif pada PLN. Berapa sih sebenarnya biaya penyambungan itu? Di sini memang masih terjadi perbedaan pendapat. Di antara unit PLN sendiri masih belum seragam. Banyak unit yang pemikirannya sudah sangat maju. Yakni hanya mengenakan biaya penyambungan yang memang menjadi tanggung jawab PLN. Tapi, memang masih ada yang belum berubah. Yakni menagihkan biaya-biaya yang sebenarnya bukan biaya untuk PLN. Yakni biaya untuk instansi lain seperti konsuil dan instalatir. Ini mungkin karena kebiasaan lama yang sudah mendarah-daging. Mereka menjadi gamang ketika harus berubah. Banyak unit, seperti Jatim, Jabar, dan Sulsel, yang untuk gerakan 1 juta sambungan ini hanya mengenakan biaya yang khusus untuk PLN. Mereka ini sudah bisa memisahkan mana biaya yang untuk PLN dan mana biaya yang sebenarnya bukan untuk PLN. Tapi, masih ada unit yang menarik semua biaya itu sehingga konsumen mengira semua biaya tersebut diterima PLN. Jatuhnya juga kelihatan mahal. Padahal, untuk menyambung listrik, biaya yang dikenakan oleh PLN sangat murah. Untuk 450 VA (volt ampere) hanya Rp 337.000. Untuk 900 VA hanya Rp 675.000. Tapi masih ada unit yang menagih ke calon pelanggan dengan nilai jauh lebih besar dari itu. Ini karena biaya untuk instansi lain seperti konsuil dan instalatir dia tagih sekaligus di situ. Calon pelanggan jadi banyak yang mengira bahwa PLN mengenakan biaya sangat mahal. Di Jatim, untuk gerakan ini, PLN hanya menagih biaya yang harus dibayar ke PLN. Biaya untuk instansi lain diserahkan ke pelanggan untuk membayarnya sendiri. Sulastyo berprinsip kalau calon pelanggan sudah membayar biaya penyambungan kepada PLN, kewajiban PLN-lah menyambung listriknya. Setelah listriknya tersambung, pekerjaan lain menjadi urusan pelanggan itu dengan konsuil dan instalatir. Jatim menempuh cara begini: setelah PLN menyambung listriknya, di dekat kWh meter itu ditempeli stiker dengan bunyi: (kira-kira) PLN telah selesai menyambung listrik Anda. Untuk menyalakannya, Anda harus menghubungi konsuil dan instalatir Anda! Selesai. Kewajiban PLN tuntas sudah. Nama PLN menjadi harum karena bisa melayani dengan cepat dan murah. Pelanggan juga sudah harus mulai tahu bahwa PLN serta konsuil dan instalatir itu instansi yang berbeda. Kewajiban maupun tanggung jawabnya! Kewajiban PLN adalah mengalirkan listrik ke rumah-rumah pelanggan. Kewajiban konsuil adalah menilai apakah jaringan listrik di rumah pelanggan itu sudah memenuhi syarat atau belum. Jangan sampai nanti, setelah listrik menyala, rumahnya terbakar. Kewajiban instalatir adalah memperbaiki jaringan listrik di rumah pelanggan itu kalau konsuil menyatakan masih harus ada yang diperbaiki. Dua instansi tersebut juga mengenakan biaya kepada pelanggan yang selama ini dijadikan satu di loket PLN. Rincian tugas dan kewajiban seperti itulah yang selama ini tidak dibedakan. Orang-orang PLN terlalu “baik” untuk ikut mengurus urusan instansi lain. Ibaratnya seperti contoh berikut ini: Sebuah mobil datang ke SPBU untuk mengisi bensin. Sebelum mengisikan bensin, petugas SPBU bertanya kepada pemilik mobil: apakah mobil Anda sudah dikir? Mana surat kirnya? Apakah mobil Anda sudah sesuai dengan hasil kir itu? Apakah mobil Anda ada STNK-nya? Apakah BPKB mobil Anda ini sah? Kalau mobil Anda belum menunjukkan bukti sudah dikir, petugas pompa bensin tidak mau menuangkan bensin ke mobil Anda. Lucu kan? Begitulah PLN selama ini. Dia jadi “petugas pompa bensin” yang sangat rewel! Sampai sekarang masih banyak orang PLN yang berpikiran bahwa dirinya adalah juga sekaligus orang konsuil dan instalatir. Akibatnya, nama PLN ancur-ancuran. Inilah yang kita coba kita ubah. Tapi, masih banyak yang memang belum bisa berubah. Begitulah di PLN selama ini. PLN belum mau menyambung listrik ke rumah pelanggan kalau rumah itu belum diperiksa konsuil. Akibatnya, pelanggan mengira bahwa pelayanan PLN yang payah. Biaya pun dikira mahal, melebihi ketentuan. Apalagi kalau memang ada yang memanfaatkan situasi tersebut. Bahwa pelayanan selama ini payah, itu memang sudah menjadi kenyataan. Bahwa biayanya selama ini mahal, itu juga satu kenyataan. Sulit dibantah. Apalagi kalau keruwetan tersebut dimanfaatkan oleh banyak orang: orang dalam maupun orang luar. Maka, gerakan penyambungan 1 juta sekaligus ini adalah usaha untuk mencoba melakukan terobosan semua itu. Dengan gerakan 1 juta sambungan satu hari, daftar tunggu itu menjadi lebih pendek. Dengan gerakan 1 juta sambungan satu hari, transaksi-transaksi gelap mestinya akan hilang. Dengan gerakan 1 juta sambungan satu hari, teman-teman PLN kembali memperoleh kepercayaan diri bahwa program-program besar bisa dilakukan dengan sukses. Kalau dengan gerakan satu juta sambungan ini transaksi-transaksi gelap masih belum hilang sama-sekali, kami bertekad untuk melakukan gerakan satu juta sambungan lagi bulan April atau Mei tahun depan! Saya tentu mendengar banyaknya transaksi gelap yang melibatkan orang dalam dan orang luar PLN. Jumlah mereka sebenarnya tidak banyak jika dibandingkan dengan jumlah pelanggan yang ada. Namun, transaksi gelap itu telah menjadi nila setitik. Tidak mungkin bisa dilawan satu per satu. Akan melelahkan, memakan energi, dan belum tentu berhasil. Gerakan satu juta sambungan ini adalah “mitraliur” atau kemoterapi yang bisa membasmi transaksi-transaksi gelap itu secara luas dan sekaligus. Kelak, kalau daftar tunggu sudah habis dan PLN bisa terus maju, jangan-jangan justru teman-teman PLN yang mengalami kesulitan mencari calon pelanggan sehingga petugas PLN harus keliling dari kampung ke kampung sambil berteriak: listrik…listrik…listrik!!! (**) Dahlan IskanCEO PLN