320 likes | 612 Views
UNSUR-UNSUR PSIKOLOGI. A. Berpikir sebagai Aktivitas Mental
E N D
UNSUR-UNSUR PSIKOLOGI A. Berpikir sebagai Aktivitas Mental Berpikir adalah suatu kegiatan mental yang melibatkan kerja otak. Kegiatan berpikir juga melibatkan seluruh pribadi manusia dan juga melibatkan perasaan dan kehendak manusia. Memikirkan sesuatu berarti mengarahkan diri pada objek tertentu, menyadari kehadirannya seraya secara aktif menghadirkannya dalam pikiran kemudian mempunyai gagasan atau wawasan tentang objek tersebut. Berpikir juga berarti berjerih payah secara mental untuk memahami sesuatu yg dialami atau mencari jalan keluar dari persoalan yg sedang dihadapi. Biasanya berpikir dimulai ketika muncul keraguan dan pertanyaan untuk dijawab atau berhadapan dengan persoalan atau masalah yg memerlukan perencanaan.
Seperti yg dikemukakan oleh Charles S. Pierce, dalam berpikir ada dinamika gerak dari adanya gangguan suatu keraguan (irritation of doubt) atas kepercayaan atau keyakinan yg selama ini dipegang lalu terangsang untuk melakukan penyidikan (inquiry), kemudian diakhiri (paling tidak untuk sementara waktu) dalam pencapaian suatu keyakinan baru (the attainment of belief). Selain itu menurut Sudarminta (2000), kegiatan berpikir juga dirangsang oleh kekaguman dan keheranan dgn apa yg terjadi atau dialami. Kekaguman atau keheranan tersebut menimbulkan pertanyaan2 untuk dijawab. Lain halnya dgn para ahli asosiasi menganggap bahwa berpikir adalah kelangsungan tanggapan2 ketika subyek berpikir pasif. Plato beranggapan bahwa berpikir adalah berbicara dalam hati. Sehubungan dgn pendapat Plato ini, Woodworth dan Marquins mengemukakan bahwa : 1. berpikir adalah aktivitas; jadi subyek yg berpikir aktif, dan 2. aktivitas bersifat ideasional; jadi bukan sensoris dan bukan motoris, walaupun dapat disertai oleh kedua hal itu; berpikir menggunakan abstraksi2 atau “ideas”.
Piaget menciptakan teori bahwa cara berpikir logis berkembang secara bertahap, kira2 pada usia dua tahun dan pada usia sekitar tujuh tahun. Ia menunjukkan bahwa anak2 tidak seperti bejana yg menunggu untuk diisi penuh dgn pengetahuan. Mereka secara aktif membangun pemahamannya akan dunia dgn cara berinteraksi dgn dunia. Menurut Piaget, cara berpikir anak2 sama sekali tidak seperti cara berpikir orang dewasa. Pikiran anak2 tampaknya diatur berlainan dgn orang yg lebih besar. Anak2 kelihatannya memecahkan persoalan pada tingkatan yg sama sekali berbeda. Perbedaan anak2 yg lebih kecil dan lebih besar tidak terlalu berkaitan dgn persoalan bahwa anak yg lebih besar mempunyai pengetahuan yg lebih banyak, melainkan karena pengetahuan mereka berbeda jenis. Dengan penemuan ini, Piaget mulai mengkaji perkembangan struktur mental.
B. Berpikir dan Bernalar Dalam pemakaian sehar-hari, kata berpikir sering disamakan dgn bernalar atau berpikir secara diskursif dan kalkulatif. Kecenderungan ini menjadi sangat besar dgn semakin dominannya rasionalitas ilmiah-teknologis atau rasionalitas-instrumental. Dalam penalaran model rasionalitas yg pertama, pikiran menyibukkan diri dgn penemuan sarana yg paling efektif dan efisien untuk mencapai tujuan. Benar-salah dalam konteks ini dilihat dari sukses-gagalnya apa yg dipikirkan dioperasionalisasikan secara teknologis. Adapun dalam penalaran model rasionalitas yg kedua, arahnya upaya saling memahami. Menurut Sudarminta, bernalar adalah kegiatan untuk menarik kesimpulan dari premis2 yg sebelumnya sudah diketahui. Bernalar bisa mengambil bentuk induktif, deduktif, ataupun abduktif.
Penalaran induktif merupakan proses penarikan kesimpulan yg berlaku umum (universal) dari rangkaian kejadian yg bersifat khusus (partikular). Sebaliknya, penalaran deduktif adalah penarikan kesimpulan khusus berdasarkan hukum atau pernyataan yg berlaku umum. Adapun penalaran abduktif adalah penalaran yg terjadi dalam merumuskan suatu hipotesis berdasarkan kemungkinan adanya korelasi antara dua atau lebih peristiwa yg sebelumnya sudah diketahui. Kegiatan bernalar merupakan aspek yg amat penting dalam berpikir. Akan tetapi, menyamakan berpikir dan bernalar seperti dikatakan Sudarminta, merupakan suatu penyempitan konsep berpikir. Penalaran adalah kegiatan berpikir seturut asas kelurusan berpikir atau sesuai dgn hukum logika. Penalaran sbg kegiatan berpikir logis belum menjamin bahwa kesimpulan yg ditarik atau pengetahuan yg dihasilkan pasti benar. Walaupun penalarannya betul atau sesuai dgn asas2 logika, kesimpulannya yg ditarik bisa saja salah kalau premis2 yg mendasari penarikan kesimpulan itu ada yg salah.
C. Bahasa dan Pikiran Berpikir adalah satu keaktifan pribadi manusia yg mengakibatkan penemuan yg terarah pada suatu tujuan. Kita berpikir untuk menemukan pemahaman atau pengertian yg kita inginkan. Ciri-ciri utama dari berpikir adalah adanya abstraksi. Abstraksi dalam hal ini berarti anggapan lepasnya kualitas atau relasi dari benda2, kejadian2, dan situasi2 yg mula2 dihadapi sbg kenyataan. Hasil abstraksi, sbg faktor terpenting dalam berpikir. Bila seseorang kurang memiliki daya abstraksi yg tepat, “bahasa atau “lambang” yg dipergunakannya/dimilikinya adalah terbatas pula. Berpikir merupakan daya yg paling utama serta merupakan ciri yg khas yg membedakan manusia dari hewan. Manusia dapat berpikir karena manusia mempunyai bahasa, sdgkan hewan tidak. “Bahasa” hewan adalah bahasa insting yg tidak perlu dipelajari dan diajarkan, sdgkan bahasa manusia adalah hasil kebudayaan yg harus dipelajari dan diajarkan.
Dengan bahasa, manusia bisa memberi nama kepada segala sesuatu, baik yg kelihatan maupun yg tidak kelihatan. Semua benda, sifat, pekerjaan, dan lain2 yg abstrak, diberi nama. Dgn begitu, segala sesuatu yg pernah diamati dan dialami dapat disimpan, menjadi tanggapan2 dan pengalaman2, kemudian diolah (berpikir) menjadi pengertian2. Dalam kehidupan sehari-hari, mudah sekali diamati bahwa bermula dari pikiran, lalu tertuang dalam omongan, muncullah sekian banyak efek, baik yg positif maupun yg negatif. Jadi, kebenaran sebuah bahasa bukan semata2 terletak pada susunan gramatiknya saja, tetapi juga pada tata pikir, etensi, dan implikasi yg muncul dari sebuah ucapan. Mengingat selalu terdapat jarak antara kehendak batin dan ucapan lahir, eksternalisasi gagasan tidak pernah cukup terwadahi hanya dalam satu kata, melainkan memerlukan bentuk kalimat.
Ada pepatah mengatakan, “Bahasa menunjukkan kualitas pembicara”. Atau diperluas lagi, “Bahasa menunjukkan bangsa”. Artinya, kepribadian seseorang atau bangsa bisa diamati dan dianalisis dari tutur katanya, bacaan yg digemarinya, juga dari karakter bahasa yg ada, karena setiap bahasa memiliki muatan filsafat yg akan membentuk sifat masyarakatnya dan pada urutannya, secara dialektis karakter masyarakat akan membentuk karakter bahasa yg ada. Dari pengamatan para Psikolog, bisa disimpulkan bahwa anak yg terbiasa hidup dicaci dan diumpat, kelak kalau sudah besar, sulit menumbuhkan rasa percaya diri. Anak yg selalu disalahkan dan tidak pernah memperoleh penghargaan, kelak kalau besar, sulit bekerja sama dgn orang lain dan sulit baginya untuk menghargai prestasi orang lain.
D. Macam-Macam Berpikir • Berpikir Deduktif Deduktif merupakan sifat deduksi. Kata deduksi berasal dari kata Latin deducere (de berarti “dari”, dan kata ducere berarti “mengantar”, “memimpin”). Dengan demikian, kata deduksi yg diturunkan dari kata itu berarti “mengantar dari suatu hal ke hal lain”. Dilihat dari prosesnya, berpikir deduktif berlangsung dari umum menuju yg khusus. Dalam cara berpikir ini, orang bertolak dai suatu teori, prinsip, atau kesimpulan yg dianggapnya benar dan sudah bersifat umum. Dari situ, ia menerapkannya pada fenomena2 yg khusus, dan mengambil kesimpulan khusus yg berlaku bagi fenomena tersebut. Jadi, untuk lebih jelasnya, berpikir deduktif adalah mengambil kesimpulan dari dua pernyataan, yg pertama merupakan pernyataan umum.
Contoh : Semua manusia akan mati (kesimpulan umum) Socrates adalah manusia (kesimpulan khusus) Jadi, Socrates akan mati (kesimpulan deduksi) Semua anggota PKI bukan warga negara yg baik (premis mayor) Si Waru bukan seorang warga negara yg baik (premis minor) Sebab itu, Si Waru seorang anggota PKI. 2. Berpikir Induktif Induktif artinya bersifat induksi. Induksi adalah proses berpikir yg bertolak dari satu atau sejumlah fenomena individual untuk menurunkan suatu kesimpulan (inferensi). Berpikir induktif (inductive thinking) ialah menarik suatu kesimpulan umum dari berbagai kejadian (data) yg ada di sekitarnya. Dasarnya adalah observasi. Proses berpikirnya adalah sintesis. Tingkatan berpikirnya adalah induktif. Jadi jelas, pemikiran semacam ini mendekatkan manusia pada ilmu pengetahuan.
Contoh : Seorang guru mengadakan eksperimen menanam biji2an bersama murid2nya; jagung ditanam tumbuh ke atas, kacang ditanam tumbuhnya ke atas pula, kacang merah ditanam dgn mata lembaganya di sebelah bawah tumbuhnya ke atas pula, biji2 yg lain demikian pula. Kesimpulannya: semua batang tanaman tumbuhnya ke atas mencari sinar matahari. 3. Berpikir Evaluatif Berpikir evaluatif ialah berpikir kritis, menilai baik-buruknya, tepat atau tidaknya suatu gagasan. Dalam berpikir evaluatif, kita tidak menambah atau mengurangi gagasan. Kita menilainya menurut kriteria tertentu (Rakhmat, 1994). Perlu diingat bahwa jalannya berpikir pada dasarnya ditentukan oleh berbagai macam faktor. Suatu masalah yg sama, mungkin menimbulkan pemecahan yg berbeda-beda. Adapun faktor2 yg mempengaruhi jalannya berpikir itu, antara lain yaitu bagaimana seseorang melihat atau memahami masalah tsb, situasi yg tengah dialami seseorang dan situasi luar yg dihadapi, pengalaman2 orang tsb, serta bagaimana inteligensi orang itu.
A. Apakah Belajar Itu? Belajar, menurut anggapan sementara orang adalah proses yg terjadi dalam otak manusia. Saraf dan sel2 otak yg bekerja mengumpulkan semua yg dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dll; kemudian disusun oleh otak sbg hasil belajar. Itulah sebabnya, orang tidak bisa belajar jika fungsi otaknya terganggu. Sesungguhnya masalah belajar itu demikian kompleksnya, shg apabila orang menganggap bbrp macam perilaku yg berbeda dapat diistilahkan secara umum sbg belajar, tampak bahwa pendefinisian belajar mjd sangat kabur, krn di dalamnya tercakup semua perilaku tsb. Bandingkan, mislanya; antara “belajar merasakan (sesuatu)” dgn belajar “pengantar psikologi” sebelum ujian, kegiatan yg disebut terakhir ini melibatkan konsentrasi, penerapan, dedikasi dan frustasi; sdgkan pada kegiatan yg disebutkan pertama, kita tidak perlu duduk dan mempelajari prinsip2 persepsi dari berbagai buku. Meskipun begitu, untuk kedua kasus tsb, sama2 digunakan kata “belajar”.
Secara singkat dan secara umum, belajar dapat diartikan sbg “perubahan perilaku yg relatif tetap sbg hasil adanya pengalaman”. Pengertian belajar memang selalu berkaitan dgn perubahan, baik yg meliputi keseluruhan tingkah laku individu maupun yg hanya terjadi pada bbrp aspek dari kepribadian individu. Perubahan ini dgn sendirinya dialami tiap2 individu atau manusia, terutama hanya sekali sejak manusia dilahirkan. Sejak saat itu, terjadi perubahan2 dalam arti perkembangan melalui fase2nya. Dan karena itu pula, sejak saat itu berlangsung proses2 belajar. B. Teori-Teori Belajar Dalam Psikologi, teori belajar selalu dihubungkan dgn stimulus-respons dan teori2 tingkah laku yg menjelaskan respons makhluk hidup dihubungkan dgn stimulus yg didapat dalam lingkungannya. Proses yg menunjukkan hubungan yg terus-menerus antara respons yg muncul serta rangsangan yg diberikan dinamakan suatu proses belajar. Untuk lebih memperjelas pengertian mengenai proses belajar, kita perlu mengenal bbrp teori belajar, yaitu : teori conditioning dan teori Psikologi Gestalt.
1. Teori Conditioning Bentuk paling sederhana dalam belajar adalah conditioning. Krn conditioning sangat sederhana bentuknya dan sangat luas sifatnya, para ahli sering mengambilnya sbg contoh untuk menjelaskan dasar2 dari semua proses belajar. Meskipun demikian, keguaan conditioning sbg contoh bagi belajar masih menjadi bahan perdebatan (Walker, 1967). a. Conditioning Klasik (Classical Conditioning) Conditioning adalah suatu bentuk belajar yg kesanggupan untuk berespons terhadap stimulus tertentu dapat dipindahkan pd stimulus lain. Prinsip dasar dari model conditioning klasik adalah sebuah unconditional stimulus (US), unconditional respons (UR), dan conditioned stimulus (CS). US merupakan objek daalm lingkungan organisme yg secara otomatis diperoleh tanpa harus mempelajarinya terlebih dahulu atau bisa dikatakan sbg suatu proses yg nyata (UR). Sbg contoh, seekor anjing meneteskan air liurnya (UR) ketika ia melihat sebuah tulang (US); seorang anak tertawa (UR) ketika ia melihat badut (US). UR terbentuk secara otomatis ketika respons tsb berhadapan dgn US.
Reaksi atau respons ini dinamakan respons alami. Conditioning klasik timbul ketika stimulus netral sebelumnya (CS) mampu menimbulkan respons yg nyata atau terihat dgn sendirinya. Hal ini terjadi melalui pemasangan yg berulang-ulang antara US dan CS; dan CS disajikan pd waktu yg bersamaan dgn US. Pasangan ini masing2 akan menghasilkan UR, krn UR merupakan respons alami terhadap US. Conditioning klasik diperoleh ketika US tidak diperoleh, CS dapat menghasilkan UR dari organisme tsb. Sbg contoh, seorang anak selalu tertawa setiap kali melihat badut. Seandainya badut itu (US) dihubungkan dgn iklan pd televisi untuk bubur sarapan pagi (CS) secara berulang-ulang, anak itu tertawa pd pemasangan iklan ini krn adanya badut tsb. Conditioning klasik terjadi seandainya kotak bubur tsb mampu membuat si anak tertawa meskipun tidak didapatinya seorang badut. Kemudian anak tsb mengasosiasikan hal2 yang menyenangkan dgn bubur tsb, meskipun tanpa kehadiran badut. Pengulangan hubungan dari stimulus terlihat dalam pemindahan sifat2 reaksi yg dihasilkan dari rangsangan atau stimulus yg satu (US) ke stimulus yg lain (CS).
Berdasarkan contoh tsb, bisa disimpulkan mengenai hal belajar sbb: (1) Laku yg satu (perbuatan maupun refleks) bisa dipindahkan ke laku yg lain. Demikian pula terjadi dlm pembentukan kebiasaan dan juga kemampuan2 lain spt kemampuan mengingat. (2) Belajar erat hubungannya dgn prinsip penguatan kembali atau dgn perkataan lain, ulangan2 dalam hal belajar adalah penting. Proses Conditioning CS US UR CS US UR CS CR
Begitulah, menurut teori conditioning, belajar adalah suatu proses perubahan yg terjadi krn adanya syarat2 (conditions) yg kemudian menimbulkan respons. Untuk menjadikan seseorang itu belajar, kita harus memberikan syarat2 tertentu. yg terpenting dalam belajar, menurut teori conditioning ialah adanya latihan2 yg kontinu. Yg diutamakan dalam teori ini ialah hal belajar yg terjadi scr otomatis. Kelemahan conditioning klasik, sbb: (1) Teori ini menganggap bahwa belajar hanyalah terjadi secara otomatis; keaktifan dan penentuan pribadi dalam tidak dihiraukannya. (2) Peranan latihan/kebiasaan terlalu ditonjolkan; sdgkan kita tahu bahwa dalam bertindak dan berbuat sesuatu, manusia tidak semata-mata bergantung pd pengaruh dari luar. Aku atau pribadinya sendiri memegang peranan dalam memilih dan menentukan perbuatan serta reaksi apa yg akan dilakukannya.
(3) Teori conditioning memang tepat kalau kita hubungkan dgn kehidupan binatang. Namun, pd manusia, teori ini hanya dpt kita terima dalam hal2 belajar tertentu saja; umpamanya dalam belajar mengenai skills (kecekatan2) tertentu dan mengenai pembiasaan pd anak2 kecil. b. Conditioning Operan (Operant Conditioning) Istilah conditioning operan (operant conditioning) diciptakan oleh Skinner dan memiliki arti umum perilaku. Istilah “operan” disini berarti operasi (operation) yg pengaruhnya mengakibatkan organisme melakukan suatu perbuatan pd lingkungannya; misalnya perilaku motor yg biasanya merupakan perbuatan yg dilakukan secara sadar (Hardy & Heyes; Rebber, 1988). Tdk spt dlm respondent conditioning (yg responnya didatangkan oleh stimulus tertentu), respons dlm conditioning operan terjadi tanpa didahului stimulus, melainkan oleh efek yg ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri sesungguhnya adalah stimulus yg meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, akan tetapi tdk sengaja diadakan sbg pasangan stimulus lainnya spt dlm classical respondent conditioning.
Thorndike mempelajari pemecahan masalah pd kucing dan berhasil merancang sebuah “kotak teka-teki”, shg kucing yg diletakkan di dalam kotak tsb dapat keluar dari kotak dgn cara menarik simpul tali, baik dgn menggunakan kai maupun dgn mulut. Thorndike kemudian mengemukakan hipotesisnya: apabila suatu respons berakibat menyenangkan, ada kemungkinan respons yg lain cenderung berakibat sama. Hipotesis ini kemudian dikenal sbg hukum efek (Law of Effect). Thorndike berpendapat bahwa dalam conditioning operan, hukum efek menyeleksi, dari jumlah respons acak hanya respons yg diikuti oleh konsekuensi positif. Dalam berbagai eksperimen Thorndike, pembelajaran adalah konsekuensi lgsg dari ganjaran. Kucing dalam kotak itu mempelajari urutan tindakan yg rumit, krn tindakan tsb diikuti oleh terbukanya jalan menuju makanan. Meskipun Thorndike yg mjd pelopor dalam pengkajian bagaimana rasa puas mendorong pembelajaran, Skinner-lah yg menyelidiki kerja terinci “hukum efek”. B.F.Skinner dianggap sbg Bapak conditioning operan. Walaupun hasil karyanya didasarkan pd hukum efek yg dikemukakan oleh Thorndike, Skinner telah memasukkan unsur penguatan dalam hukum efek tsb.
Conditioning operan adalah nama yg digunakan oleh Skinner (1938) untuk suatu prosedur yg menyebabkan individu bisa mengontrol tingkah laku organisme melalui pemberian ganjaran yg bijaksana dalam lingkungan yg relatif bebas. Dalam bbrp hal, pelaksanaannya jauh lebih fleksibel ketimbang conditioning klasik. Perbedaan antara proses belajar klasik dan belajar operan adalah adanya stimulus diskriminan tsb, yaitu yg membedakan antara kondisi saat suatu perilaku berhasil secara efektif dan kondisi perilaku tidak akan efektif (Sarwono, 1997). Selain itu Skinner berpendapat, bahwa perilaku manusia selalu dikendalikan oleh faktor luar (faktor lingkungan, rangsangan, atau stimulus). Ia mengatakan bahwa dgn memberikan ganjaran positif (positive reinforcement), suatu perilaku akan ditumbuhkan dan dikembangkan. Sebaliknya, jika diberikan ganjaran negatif (negative reinforcement), suatu perilaku akan dihambat.
Kelemahan2 teori conditioning operan sbb: (1) Proses belajar dapat diamati secara langsung, padahal belajar adalah proses kegiatan mental yg tidak dapat disaksikan dari luar, kecuali sbg gejalanya. (2) Proses belajar bersifat otomatis-mekanis shg terkesan spt gerakan mesin dan robot, padahal setiap individu memiliki self-direction (kemampuan mengarahkan diri) dan self- control (pengendalian diri) yg bersifat kognitif, shg ia bisa menolak untuk merespons jika ia tidak menghendaki, misalnya krn lelah atau berlawanan dgn kata hati. (3) Proses belajar manusia yg dianalogikan dgn perilaku hewan itu sangat sulit diterima, mengingat mencoloknya perbedaan karakter fisik dan psikis antara manusia dan hewan. 2. Teori Psikologi Gestalt Teori belajar menurut Psikologi Gestalt seringkali disebut insight full learning atau field theory. Ada pula istilah lain yg sebetulnya identik dgn teori ini, yaitu: organismic, pattern, holistic, integration, configuration, dan closure.
Jiwa manusia, menurut aliran ini adalah suatu keseluruhan yg berstruktur atau merupakan suatu sistem, bkn hanya terdiri atas sejmlh bagian atau unsur yg satu sama lain terpisah, yg tidak mempunyai hubunan fungsional. Sbg individu, manusia itu bereaksi atau lebih tepatnya berinteraksi dgn dunia luar, dgn kepribadiannya, dan dgn cara yg unik pula. Sbg pribadi, manusia tdk scara lgsg bereaksi terhadap suatu perangsang dan tidak pula reaksinya itu dilakukan secara trial and error spt dikatakan oleh penganut teori conditioning. Interaksi manusia terhadap dunia luar bergantung pd cara ia menerima stimulus serta apa motif2 yg ada padanya. Manusia adalah makhkuk yg memiliki kebebasan. Ia bebas memilih cara bagaimana ia berinteraksi; stimulus mana yg diterimanya dan mana yg ditolaknya. Atas dasar itu, maka belajar dalam pandangan Psikologi Gestalt, bukan sekedar proses asosiasi antara stimulus-respons yg kian lama kian kuat disebabkan adanya berbagai latihan atau ulangan2. Menurut aliran ini, belajar itu tjd apabila terdpt pengertian (insight). Pengertian ini muncul jika seseorang stlh bbrp saat mencoba memahami suatu problem, tiba2 muncul adanya kejelasan, terlihat olehnya hubungan antara unsur2 yg satu dgn yg lain, kemudian dipahami sangkut-pautnya, untuk kemudian dimengerti maknanya.
C. Belajar sebagai Suatu Proses Chaplin dalam Dictionary of Psychology-nya menjelaskan proses itu sbg “Any change in any object or organism, particularly a behavioral or psychological change”. Jadi, proses ialah suatu perubahan yg menyangkut tingkah laku atau kejiwaan. Selanjutnya, yg dimaksud istilah “proses belajar” adalah “Cara-cara atau langkah-langkah yg memungkinkan timbulnya bbrp perubahan serta tercapainya hasil-hasil tertentu” (Reber, 1988). Dgn demikian, jelas bahwa belajar pd dasarnya bukanlah suatu tujuan atau benda, tetapi merupakan suatu proses kegiatan untuk mencapai tujuan. Pengertian proses disini lebih merupakan “cara” mencapai tujuan atau benda. Belajar adalah suatu proses kejiwaan atau peristiwa pribadi yg terjadi di dalam diri setiap individu. Proses belajar tu sendiri, apabila berjalan dgn baik, kelak akan memberi hasil, yg kita sebut “hasil belajar”. Hasil belajar itu tidak akan bisa kita capai jika dalam diri kita sendiri tidak terjadi proses belajar.
Menurut Soepartinah Pakasi, sifat proses belajar sbb: (1) Belajar merupakan suatu interaksi antara anak dan lingkungan (2) Belajar berarti berbuat (3) Belajar berarti “mengalami” (4) Belajar adalah suatu aktivitas yg bertujuan (5) Belajar menentukan motivasi (6) Belajar memerlukan kesiapan pd pihak anak (emosional, intelektual, dan sosial) (7) Belajar memerlukan kesiapan pd pihak anak (berpikir konkret dan abstrak) (8) Belajar bersifat integratif D. Jenis-Jenis Belajar Jenis2 belajar bisa dikelompokkan berdasarkan tujuan dan hasil yg diperoleh dari kegiatan belajar, cara atau proses yg ditempuh dalam belajar, teknik atau metode belajar, dsb. Perkembangan atas pengelompokkan jenis belajar ini muncul dalam dunia pendidikan sejalan dgn kebutuhan kehidupan manusia yg juga bermacam2.
Terdapat delapan jenis belajar, yaitu: 1. Belajar Abstrak (Abstract Learning) Belajar abstrak pd dasarnya adalah belajar dgn menggunakan cara2 berpikir abstrak. Tujuannya ialah memperoleh pemahaman serta pemecahan yg tidak nyata. Dalam mempelajari hal2 yg abstrak peranan akal atau rasio sangatlah penting. Misalnya; belajar tauhid, astronomi, kimia, dan matematika. 2. Belajar Keterampilan (Skill Learning) Belajar keterampilan merupakan proses belajar yg bertujuan memperoleh keterampilan tertentu dgn menggunakan gerakan2 motorik. Dalam belajar jenis ini, proses pelatihan yg intensif dan teratur sangat diperlukan. Misalnya; belajar cabang2 olah raga, melukis, memperbaiki benda2 elektronik. 3. Belajar Sosial (Social Learning) Belajar sosial adalah belajar yg bertujuan memperoleh keterampilan dan pemahaman thp mslh2 sosial, penyesuaian thp nilai2 sosial, dsb. Misalnya; belajar memahami masalah klg, mslh penyelesaian konflik antaretnis, dan mslh2 lain yg bersifat sosial.
4. Belajar Pemecahan Masalah (Problem Solving) Belajar pemecahan masalah pd dasarnya adalah belajar untuk memperoleh keterampilan/kemampuan memecahkan berbagai masalah secara logis dan rasional. Tujuannya ialah memperoleh kemampuan/kecakapan kognitif guna memecahkan masalah secara tuntas. 5. Belajar Rasional (Rational Laerning) Belajar rasional adalah belajar dgn menggunakan kemampuan berpikir secara logis atau sesuai dgn akal sehat. Jenis belajar ini berkaitan dgn belajar pemecahan masalah (rational problem solving). 6. Belajar Kebiasaan (Habitual Learning) Belajar kebiasaan adalah proses pembentukan kebiasaan baru/perbaikan kebiasaan yg telah ada. Belajar kebiasaan, selain menggunakan perintah, keteladanan, serta pengalaman khusus, juga menggunakan hukum dan ganjaran. Tujuannya agar individu memperoleh sikap dan kebiasaan perbuatan baru yg lebih tepat dan lebih positif, dalam arti selaras dgn kebutuhan ruang dan waktu/bersifat kontekstual.
7. Belajar Apresiasi (Appreciation Learning) Belajar apresiasi pd dasarnya adalah belajar mempertimbangkan nilai/arti penting suatu objek. Tujuannya agar individu memperoleh dan mengembangkan kecakapan ranah rasa (effective skills), dalam hal ini kemampuan menghargai secara tepat, arti penting objek tertentu. Misalnya; apresiasi sastra, apresiasi musik, dan apresiasi seni lukis. 8. Belajar Pengetahuan (Study) Belajar pengetahuan dimaksudkan sbg belajar untuk memperoleh sejumlah pemahaman, pengertian, informasi, dsb. Tujuannya belajar pengetahuan ialah agar individu memperoleh/menambah informasi dan pemahaman terhadap pengetahuan tertentu yg biasanya lebih rumit dan memerlukan kiat khusus dalam mempelajarinya. Misalnya; dgn menggunakan alat2 laboratorium dan penelitian lapangan.
E. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Belajar • Faktor Endogen atau disebut juga faktor internal, yakni semua faktor yg berada dalam diri individu. (1) Faktor Fisik Faktor fisik ini dikelompokkan mjd bbrp kelompok antara lain faktor kesehatan. Misalnya, anak yg kurang sehat atau kurang gizi; daya tangkap dan kemampuan belajarnya akan kurang dibandingkan dgn anak yg sehat. (2) Faktor Psikis • Faktor inteligensi atau kemampuan • Faktor perhatian dan minat • Faktor bakat • Faktor motivasi • Faktor kematangan • Faktor kepribadian
Faktor Eksogen atau disebut juga faktor eksternal, yakni semua Faktor yg berada diluar diri individu, misalnya orang tua dan guru, atau kondisi lingkungan di sekitar individu. (1) Faktor Keluarga • Kondisi ekonomi keluarga • Hubungan emosional orang tua dan anak • Cara mendidik anak (2) Faktor Sekolah (3) Faktor Lingkungan Lain F. Hubungan Belajar dengan Menghafal dan Ingatan Menurut pandangan Psikologi kuno, belajar ditafsirkan sbg menghafal. Oleh krn itu, belajar dilakukan semata-mata dgn menghafal. Hasil belajar ditandai dgn hafalnya seseorang tentang materi yg dipelajarinya. bahwa antara belajar dan menghafal terdapat hubungan timbal balik. namun, belajar dalam arti sesungguhnya sebetulnya berbeda dgn menghafal. Menghafal hanya merupakan sebagian dari kegiatan belajar secara keseluruhan. Persamannya adalah keduanya menyebabkan perubahan dalam diri individu.
Menghafal erat hubungannya dgn proses mengingat, yaitu proses untuk menerima, menyimpan, dan memproduksi tanggapan2 yg telah diperolehnya melalui pengamatan. Menghafal adalah kemampuan untuk memproduksi tanggapan2 yg telah tersimpan secara cepat dan tepat, sesuai dgn tanggapan2 yg diterimanya. Dalam menghafal, aspek perubahannya terbatas dalam kemampuan menyimpan dan memperoduksikan tanggapan. Adapun dalam belajar, perubahan itu tidak saja dalam hal kemampuan tsb, namun juga meliputi perubahan tingkah laku lainnya, spt sikap, pengertian, skills, dsb. Dgn demikian, belajar akan berhasil dgn baik jika disertai kemampuan menghafal. Dgn demikian, jelas, antara proses2 belajar dan ingatan terdapat hubungan yg erat. Tidak mungkin kita dapat mempelajari sesuatu tanpa tersangkutnya fungsi ingatan sbg salah satu aspek atau fungsi psikis. Belajar tanpa memori, tanpa mengingat apa yg dipelajari adalah nonsens, tidak ada artinya. Dgn belajar, kita bermaksud mendapatkan sesuatu; ini tidak mungkin tanpa pertolongan ingatan. Ingatan yg kaya dan kuat sangat berjasa sekali dalam proses belajar.