130 likes | 291 Views
China Perantauan di Indonesia (3) Pertemuan 10. Matakuliah : E1052 / Penelitian China Perantauan Tahun : 2007. China Perantauan di Indonesia (3). Keadaan Perekonomian
E N D
China Perantauan di Indonesia (3)Pertemuan 10 Matakuliah : E1052 / Penelitian China Perantauan Tahun : 2007
China Perantauan di Indonesia (3) Keadaan Perekonomian • Daerah asal yang terkonsentrasi di pesisir tenggara Tiongkok dapat dimengerti karena dari sejak zaman Dinasti Tang, kota-kota pelabuhan di pesisir tenggara Tiongkok memang telah menjadi bandar perdagangan yang ramai. Quanzhou malah tercatat sebagai bandar pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia pada zaman tersebut. • Ramainya interaksi perdagangan di daerah pesisir tenggara ini kemudian menyebabkan banyak sekali orang-orang Tionghoa juga merasa perlu keluar berlayar untuk berdagang. Tujuan utama saat itu adalah Asia Tenggara dan oleh karena pelayaran sangat tergantung pada angin musim, maka setiap tahunnya, para pedagang Tionghoa akan bermukim di wilayah-wilayah Asia Tenggara yang disinggahi mereka.
Demikian seterusnya ada pedagang yang memutuskan untuk menetap dan menikahi wanita setempat, ada pula pedagang yang pulang ke Tiongkok untuk terus berdagang. • Pernikahan campuran antara China perantauan dengan wanita setempat menghasilkan keturunan yang di Indonesia dan Malaysia disebut dengan Peranakan (suami – isteri peranakan juga disebut Baba-Nyonya). • Para China perantauan yang datang bersama isterinya dan anak-anaknya disebut dengan sebutab Totok. • Dalam perkembangannya, Peranakan dan Totok memiliki perbedaan-perbedaan dalam berbagai bidang, termasuk perdagangan, pekerjaan, kehidupan sosial dan kebudayaan.
Totok vs Peranakan Di bidang perdagangan • Totok : dagang eceran dan perantara, sampai renteneir. Peranakan : tuan tanah, perkebunan & pertanian. • Totok lebih menghargai kekayaan, kerja keras, kemandirian. Peranakan lebih menikmati hidup, memiliki kehidupan sosial dan keamanan. Di bidang pendidikan ; Totok : masih mengandalkan pendidikan ala China yang berbahasa China termasuk ajaran konfusius. Peranakan : sebagian besar sudah tidak bisa berbahasa China penuh, jadi lebih mengandalkan pendidikan Barat (Belanda) & lokal Indonesia.
Di bidang kebudayaan : Totok : masih berusaha mempertahankan kebudayaan dari China secara utuh, baik di dalam pakaian, kepercayaan, dll. Peranakan : lebih mudah menerima percampuran kebudayaan, baik kebudayaan China, kebudayaan asli nusantara maupun kebudayaan Barat. Seringkali terjadi percampuran kebudayaan dalam berbagai bidang, misalnya isteri berkain batik bermotif simbol kebudayaan China, sementara suami memakai stelan jas Barat.
Perkembangan Politik, Sosial & Kebudayaan Discriminatory laws against Chinese Indonesian (1) • Presidential Instruction No. 14/1967 (Inpres No. 14/1967) on Chinese Religion, Beliefs, and Traditions,which effectively ban any Chinese literatures and cultures in Indonesia, including the prohibition of Chinese characters. Although Chinese names are not explicitly mentioned, "newly naturalized" Indonesian Chinese were strongly advised to do so. (Annulled by former president Abdurrahman Wahid in Keppres No. 6/2000; annulment supported by former president Megawati Soekarnoputri in Keppres No 19/2002 by declaring Chinese New Year as national holiday) Diskusi & tugas kelompok Akibatnya & perkembangannya sekarang terutama terhadap generasi muda :
Discriminatory laws against Chinese Indonesian (2) • Resolution of the Provisional People's Consultative Assembly no. 32, 1966 (TAP MPRS No. 32/1966) expressly bans the use of Chinese characters in public. • Presidium Directive No. 240/1967 (Inpres No. 240/1967) which mandates assimilation of "foreigners" and support the previous directive of 127/U/Kep/12/1966 for Indonesian Chinese to adopt Indonesian-sounding names. • Circular of the Director General for Press and Graphics Guidance in the Ministry of Information No.02/SE/Ditjen-PPGK/1988, which further restrict the usage of Chinese language and/or characters. Diskusi & Tugas Kelompok: Akibat & Perkembangannya dewasa ini :
Discriminatory laws against Chinese Indonesian (3) • Instruction of the Ministry of Home Affairs No. X01/1977 on Implementing Instructions for Population Registration and the confidential instructions No.3.462/1.755.6 of the Jakarta government January 28, 1980 both authorize special codes in national identification cards to indicate ethnic Chinese origin. The code was "A01" prefix. • Cabinet Presidium Circular SE-06/Pres-Kab/6/1967 on Changing the Term China and Chinese, requires the usage of the term "Cina" (which is considered a derogatory term by many Chinese Indonesians) instead of "Tionghoa" (as ethnic Chinese refer to themselves Diskusi & Tugas Kelompok: Akibat & Perkembangannya dewasa ini :
Jakarta Riots of May 1998 were riots that occurred in several parts of Indonesia, notably Jakarta and Surakarta during 14-15 May 1998 turned into a pogrom targeting properties and businesses owned by ethnic-Chinese. • shops owned by ethnic Chinese were looted and burned. • There were also hundreds of documented accounts of ethnic Chinese women being raped, tortured and killed. • Fearing for their lives, many ethnic Chinese, who made up about 3-5% of Indonesia's population, fled the country. Diskusi & Tugas Kelompok : Perkiraan sebab & akibat sentiment anti-Tionghoa di Indonesia, dan usulan bagaimana langkah2 pencegahannya
Marga Tionghoa di Indonesia • Marga Tionghoa di Indonesia terutama ditemukan di kalangan suku Tionghoa-Indonesia. Suku Tionghoa-Indonesia walau telah berganti nama Indonesia, namun masih banyak yang tetap mempertahankan marga dan nama Tionghoa mereka yang masih digunakan di acara-acara tidak resmi atau yang bersifat kekeluargaan. • Diperkirakan ada sekitar 300-an marga Tionghoa di Indonesia, data di PSMTI (Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia) mencatat ada sekitar 160 marga Tionghoa di Jakarta. Di Singapura sendiri ada sekitar 320 marga Tionghoa. Atas dasar ini, karena daerah asal suku Tionghoa di Indonesia relatif dekat dengan Singapura maka dapat diambil kesimpulan kasar bahwa jumlah marga Tionghoa di Indonesia melebihi 320 marga. • Marga Tionghoa di Indonesia mayoritas dilafalkan dalam dialek Hokkian (Minnan). Hal ini tidak mengherankan karena mayoritas keturunan Tionghoa-Indonesia adalah berasal dari Provinsi Fujian (Provinsi Hokkian
Marga yang lazim di kalangan Tionghoa-Indonesia semisal: • Cia/Tjia (Hanzi: 謝, hanyu pinyin: xie) • Gouw/Goh (Hanzi: 吳, hanyu pinyin: wu) • Kang/Kong (Hanzi: 江, hanyu pinyin: jiang) • Lauw/Lau (Hanzi: 劉, hanyu pinyin: liu) • Lee/Lie (Hanzi: 李, hanyu pinyin: li) • Oey/Ng/Oei (Hanzi: 黃, hanyu pinyin: huang) • Ong (Hanzi: 王, hanyu pinyin: wang) • Tan (Hanzi: 陳, hanyu pinyin: chen) • Tio/Thio/Theo/Teo (Hanzi: 張, hanyu pinyin: zhang) • Lim (Hanzi: 林, hanyu pinyin: lin) Masih banyak lagi marga-marga lain yang dapat ditemui. Salah satu fenomena umum di Indonesia adalah karena marga dilafalkan dalam dialek Hokkian, sehingga tidak ada satu standar penulisan (romanisasi) yang tepat. Hal ini juga menyebabkan banyak marga-marga yang sama pelafalannya dalam dialek Hokkian terkadang dianggap merupakan marga yang sama padahal sesungguhnya tidak demikian. • Tio selain merujuk kepada marga Zhang (張) dalam Mandarin, juga merupakan dialek Hokkian dari marga Zhao (趙). • Ang selain merujuk kepada marga Hong (洪) dalam Mandarin, juga merupakan
Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (Hanzi: 印華百家姓協會, hanyu pinyin: yinhua baijiaxing xiehui) adalah sebuah organisasi kemasyarakatan suku Tionghoa di Indonesia yang dipimpin oleh Brigjen TNI (Purn) Teddy Jusuf selaku Ketua Umum PSMTI Pusat. • PSMTI ini juga mempunyai banyak cabang daerah di provinsi-provinsi yang menjadi konsentrasi suku Tionghoa. • Selain PSMTI ada juga Perhimpunan INTI yaitu organisasi kemasyarakatan untuk kaum keturunan Tionghoa yang bersifat kebangsaan, bebas, mandiri, nirlaba, non-partisan dan bertujuan menyelesaikan masalah Tionghoa di Indonesia.