E N D
Pendidikan Kooperasi Besok tanggal 12 Juli Hari Kooperasi yang kelima. Besok perkumpulan kooperasi seluruh Indonesia akan memulai serentak campagne menabung, seminggu lamanya. Berhubung dengan itu saya ingin menyampaikan sepatah dua patah kata kepada Saudara-saudara, khususnya kepada Saudara-saudara pendukung kooperasi yang akan memeriahkan Hari Kooperasi V itu. Pada malam ini menjelang besok, barangkali banyak diantara kita yang perasaannya gembira bercampur gusar. Ada kegembiraan, karena melihat kemajuan pada gerakan kooperasi kita, yang senantiasa meningkat dari tahun ke tahun, sejak Hari Kooperasi yang pertama empat tahun yang lalu. Jumlah kooperasi seluruh Indonesia bertambah, dari kira-kira 6.000 sampai 10.000; anggotanya bertambah dari kira-kira 1.000.000 orang sampai 1.750.000 orang. Uang simpanan yang tercatat di waktu itu sejumlah lebih-kurang 40 juta rupiah, sekarang telah menjadi 150 juta rupiah. Hampir empat kali lipat dalam masa empat tahun saja. Uang cadangan yang di waktu itu jumlahnya hanya 3 juta rupiah, sekarang telah menjadi 28 juta rupiah. Lebih dari sembilan kali lipat. Suatu tanda bahwa ada pengertian yang sehat dalam kooperasi tentang guna cadangan, guna persiapan untuk memperkuat kedudukan perusahaan dan sebagai penangkis risiko yang mungkin dihadapi sekali-sekali. Kemajuan yang tercapai dalam empat tahun ini benar-benar menggembirakan. Keinsafan berkooperasi bertambah mendalam dan meluas, sekalipun di sana-sini tampak kekurangan pengetahuan tentang teknik dan sifatnya. Kurang pengetahuan dapat diisi! Yang menggembirakan ialah perkembangan kesadaran akan guna dan manfaat kooperasi bagi perbaikan ekonomi rakyat, ekonomi kita semuanya. Tetapi, di sebelah perasaan gembira itu, barangkali ada perasaan yang tertekan , hati yang gusar, melihat gejala-gejala kemunduran dalam perekonomian rakyat seluruhnya. Keuangan negara semangkin lemah kelihatannya. Pengeluaran negara semangkin tahun akan semangkin besar, karena kita harus mengejar ketinggalan kita dan melakukan pembangunan yang tak dapat dielakkan. Sebaliknya, penerimaan biaya untuk negara tidak seimbang tambahnya dengan tambahan pengeluaran. Dan perbandingan itu akan bertambah timpang lagi, apabila kita tidak memperbaiki cara kita bekerja dan tidak mencapai efisiensi dalam administrasi dan produksi dan pemakaian alat-alat. Sudahlah kita menghadapi berbagai kesukaran dalam ekonomi dan keuangan, masyarakat kita ditimpa pula oleh berbagai macam krisis. Ada krisis akhlak, yang mengaburkan batas antara baik dan buruk, antara halal dan haram, antara sopan dan jahil, antara adil dan curang. Korupsi meluas dalam masyarakat, yang menghinggapi pula beberapa instansi pemerintahan, yang kalau tidak diambil tindakan cepat dan tegas, bisa berurat-berakar dalam organisasi masyarakat dan negara. Kesukaran hidup buruh dan pegawai negeri, yang upah dan gajinya tidak lagi mencukupi, dipergunakan oleh pengusaha avonturir yang mau lekas kaya untuk memperoleh jalan mencapai keuntungan sebesar-besarnya. Karena itu, saudagar dan pengusaha yang bonafid yang memegang teguh moral ekonomi, tertunda ke belakang. Suap dan sogok mangkin menjadi, yang tidak sedikit merugikan masyarakat dan negara. Pemerintah kehilangan pula berpuluh-puluh, ya beratus juta bea dan cukai dan pajak yang tidak masuk tiap-tiap tahun, karena penipuan dan penyelundupan, gelap dan “legal”. Barang-barang banyak dipesan yang menghabiskan devisen, tetapi barangnya tidak kelihatan di pasar. Produksi berbagai barang keperluan hidup sehari-hari cukup, tetapi barangnya tak sampai kepada konsumen atau sampai setetes-demi setetes. Karena itu harga barang-barang keperluan hidup meningkat dan membubung, lebih dari semestinya. Beras, gula, garam, cukup dihasilkan, malahan sebagian dapat diekspor karena berlebih dari yang diperlukan untuk konsumsi di dalam negeri. Tetapi rakyat menjerit dan menderita karena tidak dapat membelinya. Ada krisis pembagian barang, yang ditimbulkan oleh organisasi yang salah dan moral yang sesat. Last but not least, muncul pula dalam masa yang akhir ini krisis kekuasaan. Angkatan Darat, sebagai alat negara, sampai menyanggah keputusan pemerintah tentang pengangkatan KSAD baru. Pokok semuanya ini berakar pada psikologi. Kita sekarang menghadapi krisis demokrasi yang, jika tidak diselesaikan dengan cara bijaksana, bisa menimbulkan anarki di dalam masyarakat, bisa menghancurkan negara, yang sendi-sendinya belum selesai ditanam. Tetapi saya yakin, bahwa krisis kekuasaan ini dapat diatasi. Ada dua jalan yang dapat ditempuh untuk membasmi kejahatan-kejahatan ekonomi tadi, atau sekurang-kurangnya meringankan beban rakyat yaitu tangan pemerintah yang mengaturjalannya ekonomi dengan tegas dan organisasi rakyat yang berbentuk kooperasi. Mau tak mau kita hidup dalam suatu perekonomian yang diatur. Ekonomi liberalisme yang menjunjung tinggi dasar-dasar laissez-faire – bebas bertindak dan berbuat – sudah tidak ada lagi, sudah berlalu dalam sejarah. Sejarah dalam perjalanannya menimbulkan setiap masa yang berlaku sekali saja – das Einmalige. Apa yang telah lalu tidak kembali lagi. panta rei – semuanya mengalir – kata seorang filsuf Yunani yang ternama: Herakleitos. Ada masanya yang dasar laissez-faire, yang menjadi sendi perkembangan kapitalisme, membawa kebajikan bagi umat sedunia. Produksi yang kecil dibesarkannya, lapangan yang kosong diisinya dengan aktivitas ekonomi, pasar yang sepi diramaikannya, daerah yang terpencil diperhubungkannya, ekonomi yang mati dihidupkannya, konsumsi yang kurang diperbesarnya, dan kemakmuran rakyat maju dengan melompat-lompat. Kapitalisme dengan laissez-fairenya merubuhkan yang lemah dan menghancurkan teknik produksi yang terkebelakang, menimbulkan krisis dan pengangguran berulang-ulang. Tetapi perbaikan dan kemajuan perekonomian yang dilahirkannya lebih besar dari kesengsaraan yang ditimbulkannya. Selama itu ia menjadi anasir pembangun. Tetapi sesudah itu, apabila kapitalisme sudah memenuhi peredarannya, selesailah suruhan sejarahnya. Perkembangannya seterusnya dari konkuresi merdeka menjadi monopoli, tidak lagi sesuai dengan suruhnya bermula. Kerusakan yang ditimbulkannya sudah lebih besar daripada kebaikan dan perbaikan yang dibawanya. Oleh karena itu tindakannya harus diawasi, langkahnya dibatasi, tanggung jawabnya terhadap masyarakat ditetapkan dengan peraturan. Dasar-dasar merdeka berbuat dan bertindak berganti dengan dasar-dasar normatif, dan dengan itu kapitalisme di dunia masuk ke dalam masa peralihan, yang akan mengubah bangun dan bentuknya berangsur-angsur menjadi bangunan yang berlainan dan baru sama sekali. Corak perekonomian dalam masa peralihan ini banyak sedikitnya ialah ekonomi yangdiatur, yang disebut juga dalam suatu bahasa asing ordening. Dalam melaksanakan ordening itu dalam praktek terdapat berbagai kesulitan. Corak ordening itu berlain-lain pula dari negeri ke negeri. Semuanya itu bergantung kepada adat-istiadat sesuatu bangsa, kepada pandangan hidupnya dan kepada corak dan tingkat perkembangan perekonomian yang telah dicapainya. Tetapi ada suatu hal yang menjadi syarat, conditio sine qua non bagi segala ordening, yaitu proses perekonomian yang bersangkut-paut dan bersambung-sambung tidak dapat dikekang pada satu bagian dan dibebaskan pada bagian lain. Peraturan ordening, kalau dikehendaki akan berjalan baik, haruslah dipikirkan dalam persangkut-pautannya sepenuh-penuhnya, dalam perhubungannya yang seimbang. Umpamanya, apabila diadakan pembatasan impor, misalnya karena kesulitan devisa, maka sebagian kelanjutannya perlu diadakan aturan penetapan harga. Kalau tidak, sebagian akibat dari berkurangnya barang, harga akan membubung. Yang rugi kaum konsumen dan yang beruntung kaum importir dan saudagar-saudagar perantara yang menjualkan barang-barang tersebut. Dan terhadap barang-barang keperluan hidup yang kurang sekali persediaannya, perlu diadakan aturan distribusi dengan meletakkan tanggung jawab hukum dan moril pada mereka yang mengerjakannya. Jadinya, apabila diadakan pembatasan jumlah barang masuk, mestilah harga dikendalikan, dan di mana perlu, distribusi diatur. Inilah suatu persangkut-pautan yang tidak dapat diabaikan!
Apabila kita sekarang memandang ke dalam perekonomian kita, maka tampaklah kepincangan peraturan. Berhubung dengan persediaan devisa, impor berbagai macam barang dibatasi. Tetapi peraturan tentang pengendalian harga dan distribusi tidak ada, sehingga harga dapat membubung tinggi. Konsumen rugi, dan yang beruntung hanya importir atau pedagang perantara. Oleh karena tak ada aturan pengendalian harga dan peraturan distribusi, maka tidak pula terdapat perimbangan antara harga padi yang dibeli oleh pemerintah dari orang tani dan harga barang-barang tekstil yang dibayar pak tani di pasar biasa. Antara harga padi dan harga barang tekstil, dua jenis yang terpenting dalam perekonomian tani, harus ada perimbangan yang tetap. Cita-cita pemerintah untuk mengadakan berbagai peraturan yang seimbang sampai sekarang tinggal cita-cita saja, berhubung dengan kekurangan pegawai yang cakap untuk menyelenggarakan tugas yang tidak mudah itu. Akan tetapi satu kali harus diadakan! Ini kewajiban negara terhadap masyarakat. Ketiadaan peraturan itu hanya menguntungkan tukang catut berbagai rupa, yang sering pula memakai kedok “nasional”. Menurut semangat undang-undang dasar kita, yang tidak sedikit juga mengandung dasar liberalisme, ekonomi nasional bukan berarti memperkaya suatu golongan kecil yang aktif dalam perekonomian, melainkan untuk mengangkat derajat rakyat seluruhnya dan menyebarkan kemakmuran dalam kalangan rakyat. Kebenaran ini sering dilupakan di dalam praktek, juga oleh golongan yang nyata-nyata menyebut dalam teori berhaluan sosialisme atau marhaenisme. Tetapi ada baiknya sewaktu-waktu kita memandang ke dalam jiwa kita, memeriksa diri kita sendiri, apakah kita tidak menyimpang dari jalan yang benar, yang sesuai dengan cita-cita kita? Memeriksa dan menyelidiki, adakah sesuai mulut dan perbuatan. Marilah sewaktu-waktu kita coba menemui kembali alam yang tidak bertubuh, dan menjatuhkan pandangan mata pikiran ke dalamnya! Dalam pergulatan di dalam alam materi, mengejar kepentingan masing-masing, apalagi kalau didorong pula oleh kepentingan-kepentingan politik, sering-sering dengan sengaja atau tidak sengaja orang menyimpang dari cita-cita yang dibelanya. Di sinilah letaknya pangkal kerusakan: kerusakan moril, kerusakan ekonomi, kerusakan negara. Sebetulnya, kalau kita jujur kepada diri kita sendiri sebagai manusia yang beradab, kita memperoleh pegangan bagi kekuatan jiwa kita pada Pancasila yang menjadi pokok dasar negara kita. Apakah artinya pengakuan Ketuhanan Yang Mahaesa, apabila kita tak bersedia berbuat dalam hidup sehari-hari menurut sifat-sifat yang dipujikan kepada Tuhan Yang Mahaesa, seperti kebenaran, keadilan, kejujuran, kebaikan dan lain-lain sebagainya? Betapa juga sulitnya melaksanakan semuanya itu di dalam praktek hidup, asuhan diri dan lingkungan kita supaya cinta kepada sifat-sifat itu dapat dikerjakan. Memang, tidak semua orang dapat mengamalkan dengan perbuatan apa yang diibadatkannya dengan mulut, akan tetapi manusia yang mempunyai kemauan dapat lambat-laun, berkat latihan jiwa, menyesuaikan langkah kepada keinginan hati. Yang perlu ialah ada keinginan untuk berbuat menurut dasar-dasar yang dipujikan di dalam Pancasila. Cinta kepada Tuhan Yang Mahaesa, taat kepada perikemanusiaan, bersedia meninggikan derajat bangsa membela demokrasi dan sudi berjuang untuk keadilan sosial! Apabila latihan diri itu berat mengerjakannya bagi orang-seorang dengan tiada pimpinan, itulah gunanya organisasi untuk mendidik anggota-anggotanya ke jurusan itu. Itulah gunanya pemimpin dan pimpinan, yang menunjukkan jalan yang harus ditempuh dan membahas berbagai kesulitan bagi pengikut-pengikutnya di dalam organisasai. Dengan latihan semuanya dapat dicapai, sekalipun tidak sampai ke tingkat kesempurnaan yang sebulat-bulatnya. Dengan mengamalkan dasar dan sifat yang tersimpul di dalam Pancasila, kita dapat mengurangkan kecurangan dan korupsi dalam masyarakat. Dan dibantu oleh organisasi gotong-royong di sebelahnya, dalam segala lapisan hidup, kita dapat menghilangkannya sama sekali. Bangsa kita pada dasarnya adalah bangsa yang sopan, beradab dan bermalu, yang sikap hidupnya terikat kepada nilai-nilai yang tinggi. Dalam hal ini kooperasi adalah suatu anasir yang berharga untuk mengembalikan nilai ke dalam penghidupan. Kooperasi seperti yang kita pahamkan, terpakai benar sebagai badan pendidikan untuk mengamalkan dasar dan sifat yang tersimpul di dalam Pancasila. Sejak dari mula timbulnya kooperasi dipengaruhi oleh cita-cita agama. Perasaan agama itulah, yang menghidupkan rasa perikemanusiaan dan rasa persaudaraan, yang menjadi sendi yang kuat bagi kooperasi. Kooperasi, selain dari mengajak orang kerja bersama untuk membela kepentingan bersama dalam suasana kekeluargaan, mendidik orang bersikap toleran, sabar dan harga-menghargai, terhadap agama dan kepercayaan masing-masing. Rasa persaudaraan dan toleransi itu adalah pula dasar yang kokoh untuk memupuk rasa sebangsa dan menjadi sendi-sendi yang kuat bagi bangunnya negara kebangsaan. Oleh karena demokrasi hanya bisa tumbuh dan berkembang kalau ada toleransi, maka kooperasi menjadi pendidik semangat demokrasi. Memang tak salah Henning Ravnholt berkata, berhubung dengan negerinya, bahwa “dalam perkumpulan kooperasi dasar-dasar demokrasi ekonomi telah lebih dahulu dijalankan sebelumnya rakyat Denmark seluruhnya mengenal demokrasi politik”. Selanjutnya kooperasi, yang mengemukakan kesejahteraan bersama, menjadi pendorong ke arah pelaksanaan keadilan sosial. Kooperasi adalah anasir pendidikan yang baik untuk memperkuat ekonomi dan moril, karena kooperasi berdasar atas dua sendi, yang satu sama lain saling memperkuat. Sendi yang dua itu ialah solidaritas, setia-kawan, dan individualitas, keinsafan akan diri sendiri. Kooperasi berdasarkan atas kedua sendi itu, tetapi sebaliknya kedua sendi itu bertambah kuat karena dipupuk di dalam kooperasi dan dengan kooperasi. Hanya dalam kooperasi solidaritas dan individualitas dapat berkembang dalam hubungan yang harmonis. Dengan menghidupkan dan memupuk solidaritas dan individualitas, kooperasi mendidik dalam dada manusia rasa tanggung jawab sosial. Solidaritas sudah ada dalam masyarakat Indonesia yang asli, di dalam desa, dan tampak keluar sebagai tolong-menolong atau gotong-royong. Dalam masyarakat kita yang asli individu, orang-seorang, hanya berarti sebagai bagian dari masyarakat. Dalam melaksanakan kepentingan hidupnya dan dalam mempergunakan tenaga ekonominya ia terikat akan persetujuan kaumnya. Di luar kaum itu ia tidak berarti apa-apa. Tetapi solidaritas saja hanya dapat memelihara persekutuan dalam masyarakat yang statis, yang tidak berubah-ubah. Solidaritas saja tidak dapat mendorong kemajuan. Dengan solidaritas saja dapat dipelihara kooperasi sosial seperti gotong-royong dalam membuat rumah, mengerjakan sawah dan lain-lainnya, tetapi tidak dapat dihidupkan kooperasi ekonomi, untuk menaikkan derajat penghidupan dan kemakmuran. Kooperasi ekonomi memerlukan individualitas di sebelah solidaritas. Individualitas tidak timbul dengan sendirinya, melainkan harus dihidupkan dalam jiwa manusia dengan jalan didikan atau asuhan. Didikan dan asuhan ini, yang dilakukan dalam perusahaan sehari-hari, tidak selesai dalam waktu yang singkat, melainkan menghendaki waktu yang lama. Individualitas jangan disamakan dengan individualisme. Individualisme adalah paham atau filsafat hidup, yang mendahulukan orang-seorang dari masyarakat. Individualitas adalah sifat orang yang insaf akan harga dirinya, percaya pada dirinya sendiri. Kepercayaan kepada diri sendiri itu menimbulkan keyakinan dan kesanggupan untuk memperbaiki nasib sendiri dengan tenaga sendiri. Dalam hubungannya dengan solidaritas di dalam kooperasi, kepercayaan akan kesanggupan sendiri itu, untuk memperbaiki nasib bersama, bertambah kuat. Dalam kooperasi tergabung solidaritas dan individualitas sebagai dua anasir yang dorong-mendorong, hidup-menghidupi dan juga awas-mengawasi supaya jangan tergelincir ke luar. Kooperasi mendidik orang-seorang mengemukakan kepentingan bersama dan bekerja untuk keperluan bersama, dengan tiada menekan individu menjadi alat golongan semata-mata. Dalam kooperasi yang
sebenar-benarnya tidak ada perhubungan majikan dan buruh, dengan kepentingan yang bertentangan. Kooperasi merupakan kerjasama antara manusia yang sederajat untuk melaksanakan kepentingan semuanya. Kooperasi tidak saja tidak mendahulukan kepentingan orang-seorang, tetapi juga tidak mengejar kepentingan golongan, seperti dengan badan-badan kombinasi atau monopoli sebagai trust, kartel dan konsern. Sekalipun tersusun sebagai golongan, di sebelah membela kepentingan anggota-anggotanya, kooperasi mengemukakan kepentingan umum. Ini dapat dinyatakan dengan berbagai bukti dalam praktek. Misalnya, kooperasi konsumsi yang menyelenggarakan toko, tidak saja menjual kepada anggotanya, akan tetapi juga kepada orang lain. Bagian keuntungan yang terbesar, di atas sebagian kecil yang dibagikan kepada anggota menurut perbandingan modal pokoknya, dibagikan kepada semua orang yang berjasa kepada kooperasi, menurut perbandingan pembeliannya. Selain itu ada bagian yang tetap dari keuntungan, yang diujudkan untuk pendidikan dan pengajaran bagi umum, misalnya membantu membuat rumah sekolah di daerah tempat kooperasi didirikan, membantu mendirikan rumah sakit dan lain-lainya. Tiap-tiap kooperasi, apapun juga jenisnya, senantiasa memberikan sumbangan sosial bagi masyarakat. Sebagai pendidikan moril, yang dilakukan kooperasi kepada anggota-anggotanya, dapat disebutkan beberapa hal. 1. Kooperasi mengajar anggotanya bercita-cita tinggi, di atas dasar realitas. Dengan mengemukakan cita-cita tentang kebaikan dan kesejahteraan bersama, disusun tenaga dan dikerahkan untuk melaksanakannya. 2. Kooperasi mendidik perasaan demokrasi di atas dasar praktek dan perbuatan sendiri, yaitu soal-soal yang mengenai jalan dan urusan perusahaan dipecah dengan bermusyawarah. 3. Pengurus kooperasi tidak bergaji, melainkan – di mana perlu – memperoleh hanya uang jabatan yang sederhana. Di sini tertanam dasar pendidikan sosial, untuk membunuh manusia egois dan menghidupkan manusia idealis, yang sangat diperlukan untuk memimpin masyarakat. 4. Kooperasi melakukan jual-beli dengan kontan. Karena itu anggota-anggota kooperasi lambat-laun terdidik supaya jangan hidup lebih besar dari kemampuan dan pendapatan. Apabila orang ingin akan sesuatu barang yang mahal, ia harus meyimpan lebih dahulu, sampai terkumpul uang pembelinya. Dengan begitu orang terpelihara dari daya-penarik beli-sewa, yang seringkali menyebabkan orang berhutang seumur hidup dan adakalanya terperosok ke dalam marabahaya ijon. 5. Pada kooperasi, ukuran dan timbangan mesti benar. Ini didikan, untuk menjauhkan anggota dari kealpaan dan kecurangan. Dengan ini dididik manusia jujur. 6. Kooperasi menggiatkan anggotanya menyimpan setiap waktu dan sewaktu-waktu untuk menjaga keselamatan hidupnya dan keselamatan perusahaannya di kemudian hari. Demikianlah berbagai macam didikan kooperasi di dalam praktek untuk membentuk moril dan moral yang tinggi dalam dada manusia. Kooperasi mendidik manusia sosial dengan mempunyai tanggung jawab sosial terhadap masyarakat. Cita-cita kooperasi hanya bisa hidup dengan didikan dan latihan yang menghendaki kesabaran. Cita-cita kooperasi yang dinyalakan di dalam dada, hendaklah menjadi obor senantiasa untuk membimbing dan mendekatkan raelitas hidup berangsur-angsur kepada cita-cita itu. Untuk membangun dan menyebarkan kooperasi sebagai usaha perekonomian, kita harus percaya, bahwa tujuan itu dapat dilaksanakan. Dengan berpegang pada undang-undang dasar yang menetapkan, bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan, kita harus yakin, bahwa kooperasi yang dipelihara baik akan menjadi tiang kemakmuran rakyat Indonesia. Dalam kesukaran ekonomi seperti sekarang ini, hanya kooperasilah yang dapat meringankan hidup banyak-sedikitnya. Istimewa bagi kaum buruh dan pegawai negeri, yang upah dan gajinya tidak lagi mencukupi untuk membeli barang-barang keperluan sehari-hari, yang harganya semangkin meningkat. Tambahan upah dan gaji saja tidak akan menolong, karena tambahan pendapatan itu, yang dilaksanakan dengan memperbesar sirkulasi uang yang jumlahnya sudah terlalu besar, akan disusul segera oleh naiknya harga barang dengan lebih meningkat. Kita sekarang berada dalam situasi psikologi ekonomi, karena pengluasan sirkulasi sedikit saja akan membawa akibat yang berlipat-ganda terhadap harga. Dengan kooperasi, kaum buruh dan pegawai negeri dapat mengadakan pembelian bersama. Dengan pembelian yang diorganisir itu di tangan kooperasi mereka, kedudukannya di pasar menjadi kuat terhadap si penjual yang mempermainkan harga. Pembelian bersama, karena dilakukan sekali banyak, tidak saja mengecilkan ongkos atas barang sebuah-sebuah, melainkan juga dapat berhubungan langsung dengan si penghasil yang pertama. Kooperasi dapat langsung membeli beras kepada pak tani atau kooperasi tani dan langsung membeli barang-barang buatan industri kepada pabrik. Dalam hal ini pemerintah dan alat-alatnya bersedia memberi bantuan. Dengan melakukan pembelian langsung itu, dilakukan oleh organisasi konsumen yang berjuta-juta jumlahnya, kaum dagang perantara merasa tersingkir dan terpaksa menurunkan harga sampai ke batas minimum keuntungan dagang. Dengan jalan begitu kooperasi dapat mengusahakan turunya harga, dan karena itu berjasa pula kepada masyarakat seluruhnya. Demikianlah, dengan aktivitas sendiri, dengan jalan berkooperasi, kaum buruh dan pegawai negeri dapat meringankan beban hidupnya banyak sedikitnya. Sudah tentu usaha ini harus digenapi oleh berbagai tindakan yang wajib dilakukan oleh pemerintah. Akan tetapi, mengadakan organisasi kooperasi semacam itu tidaklah mudah. Ia menghendaki aktivitas yang sungguh-sungguh, kemauan dan tekat yang benar-benar dari seluruh anggota kooperasi. Dengan setengah hati berusaha atau dengan kerja tersambil tujuan ini tidak akan tercapai. Melaksanakan tujuan itu memang sukar, akan menghadapi berbagai macam kesulitan yang belum diketahui selama ini dalam pekerjaan sehari-hari, akan tetapi di situlah gunanya kooperasi. Kooperasi menyusun tenaga yang lemah yang terpencar menjadi suatu organisasi kemauan bersama yang kuat. Dan dengan kooperasi, yang diselenggarakan sungguh-sungguh, timbullah kepercayaan pada diri sendiri dan hilanglah berangsur-angsur kompleks inferioritas, yang menekan jiwa. Rasa tak mampu akan berganti dengan rasa percaya atas kesanggupan sendiri dalam usaha bersama. Apabila masyarakat kita sudah tersusun dalam berbagai jenis kooperasi yang dapat bekerja dengan baik, maka kemungkinan untuk menyelenggarakan ekonomi yang diatur, berdasarkan oto-aktivitas yang dikoordinasi dan tidak kaku jalannya, akan bertambah besar. Birokrasi yang sering-sering terbawa oleh tindakan yang diatur oleh pemerintah dapat disingkirkan. Itulah pula kebaikan kooperasi sebagai anasir penyelenggara ekonomi yang diatur, untuk kebahagiaan dan kemakmuran masyarakat seluruhnya. Cita-cita kooperasi harus hidup dahulu, dihidupkan terus-menerus dengan menuju tingkatan yang lebih tinggi senantiasa. Barulah bangun organisasi-organisasi kooperasi, sebagai badan pelaksana cita-cita. Mudah-mudahan Hari Kooperasi yang kelima besok, dengan semangatnya yang meriah, dapat memperbesar aktivitas baru untuk memperbaiki organisasi perekonomian kita! Mohammad Hatta, Pidato Radio pada Hari Kooperasi V Tahun 1955, Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun, Inti Idayu Press, 1971, Hal. 64 – 72