1.08k likes | 1.47k Views
PENGEMBANGAN LEADERSHIP DAN ENTERPRENEURSHIP MAHASISWA DALAM RANGKA MENDUKUNG PEMBANGUNAN EKONOMI BERBASIS SDA SEBAGAI KEUNGGULAN KOMPETITIF INDONESIA. oleh Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS Ketua Bidang Kemaritiman, Persatuan Insinyur Indonesia
E N D
PENGEMBANGAN LEADERSHIP DAN ENTERPRENEURSHIP MAHASISWA DALAM RANGKA MENDUKUNG PEMBANGUNAN EKONOMI BERBASIS SDA SEBAGAI KEUNGGULAN KOMPETITIF INDONESIA oleh Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS Ketua Bidang Kemaritiman, Persatuan Insinyur Indonesia Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-IPB STUDIUM GENERALE Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana-Universitas Sumatera Utara Medan, 9 Maret 2011
OUTLINE • PERAN IQ, EQ, DAN SQ BAGI KEBERHASILAN HIDUP • STATUS DAN PERMASALAHAN PEMBANGUNAN INDONESIA • PENYEBAB KETERTINGGALAN INDONESIA • ROAD MAP PEMBANGUNAN MENUJU INDONESIA YANG MAJU, SEJAHTERA, DAN BERDAULAT • INDUSTRI BERBASIS SDA SEBAGAI KEUNGGULAN KOMPETITIF INDONESIA • PEMBANGUNAN DAN LINGKUNGAN GLOBAL
PENYEBAB RENDAHNYA KINERJA EKONOMI BERBASIS SDA PEMBANGUNAN EKONOMI BERBASIS SDA HAYATI SECARA EFISIEN, ADIL, DAN BERKELANJUTAN PROFIL LULUSAN PERGURUAN TINGGI YANG DIBUTUHKAN UNTUK KEMAJUAN DAN KEMAKMURAN BANGSA ENTREPREUNEURSIP LEADERSHIP KIAT MENJADI SARJANA YANG MEMILIKI LEADERSHIP DAN ENTREPRENEURSHIP YANG MUMPUNI PENUTUP
PERAN IQ, EQ, DAN SQ BAGI KEBERHASILAN HIDUP • PANDANGAN SEKULER/ATHEIS • IQ = 6 – 20 % • EQ = 80 – 94 % (Covey, 1990; Goleman, 1999; Stein and Howard, 2002) • PANDANGAN AGAMA • IQ = 6 – 20 % • EQ = 30 – 44 % • SQ = 50 % (QS. Al-Baqarah [2]: 201; QS. Ar-Ra’d [13]: 11; dan QS. Al-Qasas [28]: 77)
Artinya : “Dan di antara mereka ada yang berdoa : “Ya Tuhan kami berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Al-Baqorah : 201) Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubahnya keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (Ar-Ra’d: 11)
Artinya : “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kemu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (Al-Qasas: 77).
II. STATUS DAN PERMASALAHAN PEMBANGUNAN INDONESIA • Seluruh rakyat Indonesia sangat mendambakan segera terwujudnya kehidupan berbangsa dan bernegara yang maju, adil-makmur, damai, dan berdaulat. • Namun, hampir 66 tahun merdeka, Indonesia masih sebagai negara berkembang dengan GNP perkapita rendah US$ 3.000 (Malaysia US$ 12.000, dan Thailand US$ 5.500), koefisien Gini tinggi (0,38), angka pengangguran dan kemiskinan tinggi, utang negara besar, dominasi asing dalam ekonomi nasional, lingkungan semakin rusak, daya saing ekonomi rendah,danIPM rendah.
Permasalahan ekonomi Indonesia: • Pengangguran • Kemiskinan • Deindustrialisasi • Daya saing ekonomi rendah • Disparitas pembangunan antar wilayah • Kesenjangan antara kelompok kaya vs. miskin • Utang negara yang besar • Dominasi penguasaan asing dalam sektor ESDM, perkebunan, telkom, dan perbankan • Kerusakan SDA dan LH.
KEMISKINAN • Dengan garis kemiskinan Rp 211.726/orang/bulan (BPS, 2010), maka: • Penduduk miskin pada 2010 turun menjadi 13,3% (31,2 juta jiwa) dari 14,1% pada 2009. • Namun, penerima raskin 2010 = 70 juta orang. • Dengan garis kemiskinan Bank Dunia (US$ 2/orang/bulan), jumlah penduduk miskin 117 juta orang (45%). Artinya, hampir SEPARUHrakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan
PENGANGGURAN Dengan kriteria, bahwa seseorang dikategorikan tidak menganggur, jika ia bekerja minimal 1 jam dalam seminggu, maka: • Pengangguran terbuka = 9,26 juta orang (7,4%). • Setengah menganggur = 31,36 juta orang. Catatan: kriteria tidak menganggur versi ILO (2006) = minimal 5 jam/minggu.
ANGKATAN KERJA Tahun 2009 : Sektor formal = 30 % dari total angkatan kerja. Sektor informal = 70% dari total angkatan kerja. Tahun 2004 : Sektor formal = 45% dari total angkatan kerja. Sektor informal = 55% dari total angkatan kerja. Trend naiknya proporsi angkatan kerja di sektor informal merupakan sinyal kuat terjadinya proses deindustrialisasi di tanah air
Indikator Kesenjangan Ekonomi Wilayah Sumber: diolah dari BPS
PRODUKSI DAN TRANSFER ANTARWILAYAH 2005 • Perdagangan antardaerah terpusat di Jawa dan Sumatera Blok Ekonomi Utama. • Perdagangan antardaerah di Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua masih relatif kecil dan belum berkembang Wilayah ini percepatan pembangunan Catatan: Arah panah menunjukkan arus perdagangan antarwilayah. Angka yang digarisbawahi menunjukkan produksi bruto di setiap wilayah. Angka dalam lingkaran menunjukkan input antara dalam wilayah. Kesenjangan ekonomi wilayah menghambat perwujudan Wawasan Nusantara (NKRI)
Kesenjangan Sosekbud 70% dari total uang Indonesia hanya beredar di P. Jawa (Bank Indonesia, 2010). Perguruan Tinggi Kelas Dunia (UI, Binus, Pelita Harapan, IPB, ITB, UNPAD, UGM, UNAIR, dan ITS) terdapat di P. Jawa. Rumah Sakit terbaik terdapat di P. Jawa. Infrastruktur terbaik terdapat di Jawa dan Bali.
BEBAN UTANG NEGARA SEMAKIN BESAR • Beban utang yang tinggi. Dalam membiayai APBN, Pemerintah terlalu mengandalkan utang luar negeri dan penjualan SBN (Surat Berharga Negara). • Total utang pemerintah pada 2004 sebesar Rp. 1.275 T, dan pada 2009 menjadi 1.700 T(Depkeu, 2009).Padahal, selama 32 th pemerintahan Orba, total utangnya sebesar Rp 600 T(Prof.Dr. Syamsul Hadi, 2009).
DAYA SAING EKONOMI Tahun 2008, Indonesia di posisi 51 dari 55 negara yang disurvei (World Competitiveness Year Book, 2008). Tahun 2010, Indonesia meningkat ke posisi 44 (WCYB, 2010). Sementara itu, • Singapura Ranking ke-1 • RRC ke-15 • Malaysia ke-17 • Thailand ke-25 • India ke-27 • Pilipina ke-40, • AS ke-2
Indeks Pembangunan Manusia 2008 : Indonesia peringkat-107, 2009 : menurun ke peringkat-111 dari 182 negara 2010: meningkat ke peringkat-108 dari 194 negara, Sementara itu, Singapura ke-27 Brunei ke-37 Malaysia ke-57 Thailand ke-92 China ke-89 Sri Lanka ke-91 Pilipina ke-97 Norwegia ke-1 Australia ke-2 Selandia Baru ke-3, Zimbabwe terendah di dunia Amerika Serikat ke-4 (UNDP, 2010)
Padahal, dengan kekayaan SDA yang besar, 237 juta penduduk (terbesar keempat di dunia), dan posisi geo-ekonomi sangat strategis (di jantung lalu lintas ekonomi & perdagangan global); seharusnya kini Indonesia sudah menjadi bangsa besar yang maju, adil-makmur, dan berdaulat. • Atau, setidaknya sejajar dengan Malaysia, China, Singapura, dan emerging economies lainnya.
Indonesia’s Position in the World’s Commodity Production Source: UNDP (2009)
III. PENYEBAB KETERTINGGALAN INDONESIA • Belum punya visi pembangunan yang tepat dan benar, serta dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan. • Dalam 6 th terakhir pertumbuhan ekonomi sebagian besar dari konsumsi, sektor keuangan, dan sektornon-tradable. Bukan dari sektor riil tradable seperti kelautan & perikanan, pertanian, kehutanan, ESDM, pariwisata, dan industri manufaktur. • Daya saing ekonomi nasional masih lemah, liberalisasi perdagangan dibuka sebebas-bebasnya (ACFTA, dominasi kepemilikan asing di sektor keuangan, telkom, pertambangan, dan perkebunan).
POTENSI PENCIPTAAN LAPANGAN KERJA SETIAP SATU PERSEN PERTUMBUHAN EKONOMI • Sektor finansial : 40.000 orang • Sektor non-tradable : 150.000 orang • Sektor riil tradable : 400.000 orang Sumber: Bappenas (2008)
Belum mempunyai keunggulan kompetitif yang (competitive advantages) sejati. • Ketersediaan dan kualitas infrastruktur dan energi (listrik & gas) buruk. • Iklim investasi masih belum kondusif dan atraktif. • Jumlah SDM berkualitas (knowledge, skills, and work ethics) masih sangat sedikit. • Jumlah entrepreneurs sangat sedikit 0,18% total penduduk. Harusnya minimal 2% total penduduk (Mc Leland, 2007). • Inovasi, penguasaan, dan penerapan IPTEK sangat lemah (bangsa konsumen teknologi).
Mayoritas pengusaha bermental ‘pedagang’, bukan ‘industriawan’. • Tata kelola pemerintahan dan corporate culture sebagian besar instansi pemerintah (pusat dan daerah), lembaga legislatif (DPR), dan lembaga yudikatif belum kondusif bagi kemajuan dan kemakmuran bangsa. • Mekanisme pemerataan kesejahteraan dan pemeliharaan lingkungan hidup tidak berjalan baik. • Orientasi pembangunan pada daratan, bukan pada kelautan dan kepulauan yang merupakan fitrah fisik NKRI. Padahal, “Geography is destiny” (Issard, 1972). • Belum ada kepemimpinan nasional yang capable, berintegritas, bekerja keras dan ikhlas untuk memajukan dan memakmurkan bangsa.
IV. ROAD MAP PEMBANGUNAN MENUJU INDONESIA YANG MAJU, SEJAHTERA, DAN BERDAULAT
Di era dunia yang semakin ‘Hot’, ‘Flat’, dan ‘Crowded’, Indonesia bisa maju dan makmur dengan: • Visi pembangunan ekonomi berbasis SDA. • Mendayagunakan segenap potensi pembangunannya secara efisien guna menghasilkan pertumbuhan ekonomi berkualitas secara berkelanjutan. • Mengembangkan daya saing ekonomi. • Proteksi terhadap sektor-sektor ekonomi nasional yang daya saingnya masih rendah. • Membagi “kue ekonomi nasional” bagi kesejahteraan seluruh rakyat secara adil. • Memelihara daya dukung dan kualitas lingkungan.
Dua Pilihan Strategi Membangun Keunggulan Kompetitif (Porter, 2007) Memproduksi barang dan jasa (goods and services) yang dibutuhkan oleh masyarakat dunia (high demand), tetapi karena alasan alamiah, bangsa-bangsa lain tidak bisa atau hanya sedikit yang mampu memproduksinya (blue ocean strategy). Memproduksi barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat dunia, dan sudah dihasilkan oleh bangsa-bangsa lain; lalu dengan semangat, kemampuan IPTEK, dan etos kerja unggul suatu bangsa menghasilkannya dengan lebih kompetitif.
V. INDUSTRI BERBASIS SDA SEBAGAI KEUNGGULAN KOMPETITIF INDONESIA • Sebagai negara maritim, kepulauan, dan agraris tropis terbesar di dunia, Indonesia memiliki kekayaan SDA berlimpah yang sampai sekarang belum dimanfaatkan secara optimal (supply capacity besar). • Seiring dengan bertambahnya penduduk Indonesia dan dunia, permintaan domestik maupun global terhadap SDA serta berbagai produk turunannya juga bakal terus meningkat.
SDA negara-negara maju sudah menipis atau hampir habis. • Dengan membangun industri berbasis SDA secara kompetitif dan berkelanjutan, maka kita akan berdaulat di bidang pangan dan energi, dan sekaligus menjadi pengekspor berbagai SDA dengan nilai tambah yang tinggi. • Negara-bangsa dengan penduduk lebih dari 100 juta orang sulit sekali untuk menjadi maju dan makmur, bila pasok pangannya bergantung pada negara-negara lain atau impor (FAO, 2000).
Industri berbasis SDA mampu menciptakan lapangan kerja besar dan membangkitkan banyak multiplier effects, sehingga bisa atasi pengangguran & kemiskinan. • Sebagian besar industri SDA terdapat di luar Jawa dan Bali, di daerah pedesaan, kawasan pesisir, dan pulau-pulau kecil. Ini akan menumbuhkan pusat-pusat kemakmuran (growth centers) yang tersebar merata di seluruh wilayah NKRI, memperkecil ketimpangan pembangunan, dan mengurangi laju urbanisasi serta ‘brain drain’.
Kebanyakan industri SDA berbasis pada SDA terbarukan (renewable resources), sehingga pembangunannya bersifat berkelanjutan atau lestari (sustainable development). • Karena sekitar 75% rakyat Indonesia bekerja pada 5 sektor SDA, jika mereka makmur, maka sektor-sektor ekonomi lainnya (seperti otomotif, elektronik, ITC, dan industri kreatif) pun akan terdongkrak maju. Sebab, para petani, nelayan, penambang, pekerja hutan, dan pekerja wisata yang makmur akan membeli berbagai barang dan jasa lain.
VI. PEMBANGUNAN DAN LINGKUNGAN GLOBAL (Sachs, J.D. “Need versus greed: A calamity is inevitable unless we change”. JP. March 2, 2011. p.2) • The world is hitting global limits in its use of resources. • We are witnessing the shocks each day in catastrophic floods, droughts, storms, and other extreme weather events which have resulted in surging prices in the marketplace. • Therefore, the humanity fate now depends on whether we cooperate or fall victim to self-defeating greed. • The limits to the global economy are new (the last two decades), resulting from the unprecedented size of the world’s population and the unprecedented spread of economic growth to nearly the entire world.
There are now 7 billion people on the planet, compared to just 3 billion a half-century ago. • Today, average per capita income is US$10,000; with the rich world averaging around $40,000 and the developing world around $4,000. • That means that the world economy is now producing around $70 trillion in total annual output, compared to around $10 trillion in 1960. • China’s economy is growing at around 10 percent annually. India is growing at nearly the same rate. • Africa, long the worlds slowest-growing region, is now averaging roughly 5 percent annual GDP growth.
Overall, the developing countries are growing at around 7 percent per year, and the developed economies at around 2 percent, yielding a global average of around 4.5 percent. • This is very good news in many ways. Rapid economic growth in developing countries is helping to alleviate poverty. • In China, for example, extreme poverty has been cut from well over half of the population 30 years ago to around 10 percent or less today. • Yet, there is another side to the global growth story that we must understand clearly. • With the world economy growing at 4-5 percent per year, it will be on a path to double in size in less than 20 years.
Today’s $70 trillion world economy will be at $140 trillion before 2030, and $280 trillion before 2050 if we extrapolate from today’s growth rate. • Our planet will not physically support this exponential economic growth if we let greed take the upper hand. • Even today, the weight of the world economy is already crushing nature, rapidly depleting the supplies of fossil-fuel energy resources that nature created over millions of years, while the resulting climate change has led to massive instabilities in terms of rainfall, temperature, and extreme storms.
We see these pressures every day in the marketplace. Oil prices have surged to more than US$100 per barrel, as China, India, and other oil-importing countries join the United States in a massive scramble to buy up supplies, especially from the Middle East. Food prices, too, are at historical highs, contributing to poverty and political unrest. • On the one hand, there are more mouths to feed, and with greater purchasing power on average. • Heat waves, droughts, floods, and other disasters induced by climate change are destroying crops and reducing the supplies of grains on world markets. • In recent months, massive droughts have struck the grain-producing regions of Russia and Ukraine, and enormous floods have hit Brazil and Australia. Now, another drought is menacing northern Chinas grain belt.
There is something else hidden from view that is very dangerous. • In many populous parts of the world, including the grain-growing regions of northern India, northern China, and the American Midwest, farmers are tapping into groundwater to irrigate their crops. • The great aquifers that supply water for irrigation are being depleted. In some places in India, the water table has been falling by several meters annually in recent years. • Some deep wells are approaching the point of exhaustion, with salinity set to rise as ocean water infiltrates the aquifer.
A calamity is inevitable unless we change. And here is where Gandhi’s speech comes in: “There is enough on Earth for everybody’s need, but not enough for everybody’s greed”. • If the world’s society is run according to the greed principle, with the rich doing everything to get richer, the growing resource crisis will lead to a widening gap between the rich and the poor - and quite possibly to an increasingly violent struggle for survival. • The rich will try to use their power to commandeer more land, more water, and more energy for themselves, and many will support violent means to do so, if necessary. • The US has already followed a strategy of militarization in the Middle East in the naive hope that such an approach can ensure secure energy supplies. • Now competition for those supplies is intensifying, as China, India, and others bid for the same (depleting) resources.
An analogous power grab is being attempted in Africa. The rise in food prices is leading to a land grab, as powerful politicians sell to foreign investors massive tracts of farmland, brushing aside the traditional land rights of poor smallholder. • Foreign investors use large mechanized farms to produce output for export, leaving little or nothing for the local populations. • Everywhere in the leading countries - the US, the United Kingdom, China, India, and elsewhere – the rich have enjoyed soaring incomes and growing political power. • The US economy has been taken over by billionaires, the oil industry, and other key sectors. • The same trends threaten the emerging economies, where wealth and corruption are on the rise.
If greed dominates, the engine of economic growth will deplete our resources, push the poor aside, and drive us into a deep social, political, and economic crisis. • The alternative is a path of political and social cooperation, both within countries and internationally. • There will be enough resources and prosperity to go around if we convert our economies to renewable energy sources, sustainable agricultural practices, and reasonable taxation of the rich. • This is the path to shared prosperity through improved technologies, political fairness, and ethical awareness.
Kebanyakan usaha ekonomi SDA tidak menerapkan IPTEK mutakhir, tidak memenuhi economy of scale, dan tidak menerapkan sistem bisnis (supply chain system) secara terpadu, dari hulu (produksi) sampai hilir (pasar). Industri hilir (penanganan, pengolahan, dan pengemasan) masih lemah, sehingga daya saing, nilai tambah, dan multiplier effects nya juga rendah.
Kita lebih suka mengekspor SDA dalam keadaan mentah, tidak diproses dahulu menjadi produk antara (intermediate products), apalagi produk akhir (finished products) yang bernilai tambah tinggi dan menciptakan multiplier effects yang besar. Pemerintah tidak memproteksi EBSDA dari serbuan produk dan komoditas impor yang di negaranya mendapatkan subsidi dan praktek dumping. Ini disebabkan oleh mental para pengusaha nasional yang mayoritas bermental ‘pedagang’, dan mental mayoritas birokrat yang bersifat koruptif dan ‘komprador’.
Maraknya praktek illegal mining, illegal logging, illegal fishing, illegal trading, dan kegiatan ekonomi ilegal lainnya Kebanyakan korporasi bisnis EBSDA yang berhasil sangat rakus, kurang mensejahterakan karyawan dan abai terhadap kelestarian lingkungan & SDA. Suku bunga di Indonesia termasuk tertinggi di dunia, dan perbankan masih enggan mendanai ESBDA.
Suku bunga pinjaman Tahun 2010 Indonesia 14%; Malaysia (3,8%); Filipina (3,8%); Singapura (6,1%); Thailand (2,3); Australia (3%); Jepang (0,5%); AS (1,5%); Canada (2%); dan UE (1,5%) (World Bank, 2010)
Infrastruktur buruk. Pasok listrik dan gas kurang. Iklim investasi (perizinan, tata ruang, pembebasan lahan, perpajakan, ketenagkerjaan, keamanan berusaha, kepastian dan keadilan hukum, dan konsistensi kebijakan) kurang kondusif. Kebijakan politik-ekonomi (fiskal-moneter, perdagangan, pendidikan, IPTEK, infrastruktur, dll) belum mendukung ESBDA.
Dengan demikian, bila kita mampu mengatasi (debottle-necking) sejumlah kendala diatas, maka diyakini EBSDA akan menjadi competitive advantage yang dapat menghantarkan Indonesia menjadi bangsa besar yang maju, adil-makmur, dan berdaulat. • Tantangan berikutnya adalah bagaimana membangun keunggulan kompetitif berbasis ESDA itu secara berkelanjutan (sustainable), khususnya SDA pesisir dan lautan ?
VIII. PEMBANGUNAN EKONOMI BERBASIS SDA HAYATI SECARA EFISIEN, ADIL, DAN BERKELANJUTAN • Beranjak dari uraian di atas, diyakini bahwa Ekonomi Berbasis SDA (EBSDA) merupakan keunggulan komparatif yang dapat ditransformasi menjadi keunggulan kompetitif yang mampu menghantarkan Indonesia menjadi bangsa besar yang maju, adil-makmur, dan berdaulat dalam waktu yang tidak terlampau lama, 2025 insya Allah.
Ekonomi Berbasis SDA hayati (EBSDAH): • Sektor Pertanian: (1) tanaman pangan, (2) hortikultura, (3) perkebunan, dan (4) peternakan. • Sektor Kehutanan: (1) hutan alam, (2) hutan tanaman industri, (3) produk non-kayu (non-timber products, dan (4) wanawisata. • Sektor Kelautan dan Perikanan: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budidaya, (3) industri bioteknologi kelautan, (4) BMKT, (5) pulau-pulau kecil, dan (6) SDA non-konvensional. • Untuk itu, diperlukan sejumlah kebijakan terobosan (breakthroughs) berikut.