E N D
Dwitunggal Tanggal Dwitunggal Soekarno-Hatta adalah bermakna prinsip bagi persatuan nasional semasa perjuangan. Biarpun absen di masa gerilya, namun makna tadi tidak berubah. Semasa tahun 1947, dalam pelaksanaan “Linggajati”, Belanda menekan Republik dengan berbagai tuntutan ultimatif, dan oleh Kabinet Amir satu per satu tuntutan itu diterima, kecuali pengsubordinansian TNI ke bawah “kedaulatan” Belanda. Maka dengan alasan inilah Belanda memulai Agresi I, yang kemudian dengan intervensi PBB terhenti melalui Persetujuan Renville. Kembali pada tahun 1948 Belanda melakukan tuntutan-tuntutan ultimatif, dan kembali Kabinet Hatta memenuhinya satu per satu, kecuali dalam hal pengsubordinansian TNI tadi. Sekali lagi dengan ini Belanda menyerang, melakukan perang kilat ke Yogya, tetapi kali ini rakyat dan TNI melakukan perang rakyat total. Belanda memperoleh jalan buntu dan terpaksa mengakui Republik kembali dan membebaskan Soekarno-Hatta. Cukup meresahkan membaca risalah masa itu kembali, membaca protes-protes TNI terhadap kompromis Rum-Royen, antara lain kawat Panglima Besar ke PDRI: “… minta keterangan kami apakah orang-orang yang masih dalam tawanan Belanda berhak merundingkan kma lebih-lebih memutuskan sesuatu hal yang berhubungan dengan politik kma untuk menentukan status negara kita? Sekembali ke Yogya, Soekarno-Hatta konsisten melaksanakan isi Rum-Royen. PDRI Sjafrudin mengembalikan mandatnya. BP KNIP mendukung trase Bangka, trase Soekarno-Hatta. Kemudian delegasi Hatta berangkat ke Nederland dengan menyertakan tim militer, yang terdiri dari Simatupang dan kawan-kawan. Pada tanggal 2 Agustus 1949, saya mendampingi Pak Dirman yang masih sakit menghadap Presiden. Di kamar depan istana terjadilah pembicaraan tersengit yang pernah saya saksikan selama di Yogya. Kata Pak Dirman, beliau tak bisa lagi mengikuti Pemerintah dan akan berhenti. Saya perkuat dengan pernyataan yang sama, membawakan amanat para komandan. Presiden menjelaskan segala sesuatu, tetapi tak mempan. Akhirnya dengan meledak tangis, beliau berkata lebih kurang sebagai berikut: “Kalau Saudara-saudara berhenti, maka lebih dahulu Soekarno-Hatta berhenti, terserah APRI memimpin perjuangan, Soekarno-Hatta akan mengikuti sebagai rakyat.” Suatu tembakan “meriam berat” yang kena sasaran, seperti pidato Bung Hatta yang tegas tahun 1947 di KNIP dulu, “Lebih baik dicari Presiden dan Wakil Presiden yang lain,” ketika PNI Masyumi dan lain-lain hendak menolak “Linggajati”. Seperti sikap partai-partai dulu di Malang, yang terpukul mundur, maka begitulah pula sikap TNI terhadap Soekarno-Hatta. Sore hari saya dipanggil Pak Dirman, menghadap beliau yang terbaring di tempat tidur. Surat berhenti sudah beliau teken dan akan diantarkan ke istana. Saya berkata, lebih kurang, “Tanpa persatuan TNI dengan Soekarno-Hatta tak mungkin berhasil perjuangan Republik, karena itu biarlah kita mengikuti “Soekarno-Hatta”. Di luar dugaan, Pak Dirman mengiakan, dan surat historis beliau itu, yang sampai kini suka kita kutip, tidak jadi dikirimkan. Tanggal 3 Agustus 1949 malam. Presiden mengucapkan cease-fire order sesuai dengan Perjanjian Rum-Royen. Namun setelah Belanda pergi, tahun 1950-an menjadi semakin krisis. Dekade perpecahan-perpecahan, “panca krisis”, kata Presiden. Yaitu masa frusteasi luas, karena adanya jurang besar antara kenyataan dan harapan, sehingga timbullah pergolakan-pergolakan mencari pegangan. Terbenamlah kita dalam berbagai kemelut yang diwarnai suasana perang dingin dunia. Terjadi pergolakan antar partai atau golongan, termasuk APRI yang semakin kritis, dengan berbagai pemberontakan yang membahayakan kesatuan negara. Tahun 1950-an adalah pula tanggalnya Dwitunggal. Bung Hatta memakai kata Dwitanggal, dalam konsistensi pendirian beliau terhadap pendirian Bung Karno. Sebagaimana, antara lain di rapat-rapat panglima, dikenal sebagai pendirian “revolusi sudah atau belum selesai”. Setelah berhenti dari jabatan KSAD, saya ikut pemilu 1955. Sebelumnya, pada tahun 1954, saya menghadap Bung Hatta, hendak mendirikan kumpulan pemilih IPKI dengan “program kembali UUD’45″ itu, dan beliau merestui. Dalam pidato-pidato kampanye saya menekankan “revolusi belum selesai”. Karena ke luar, Irian Barat masih di tangan Belanda, dan ke dalam masih melanjutkan orde sosial, politik dengan ekonomi warisan kolonial. Bukanlah hendak memilih antara Bung Karno dan Bung Hatta. Tetapi saya tidak jadi memasuki Konstituante karena dipanggil kembali menjadi KSAD. Maka dalam keadaan pemberontakan yang meluas, salah satu urgensi pimpinan AD dewasa itu ialah memulihkan “Dwitunggal”. Presiden menerima usul saya agar
diadakan pertemuan secara periodik, “konvensional” seperti dulu di Yogya, antara Soekarno-Hatta, Perdana Menteri dan menteri-menteri terpenting serta pimpinan APRI. Bung Hatta pun tidak menolak. Pertemuan pertama, yang disertai dengan makan bersama itu, secara psikologis berhasil. Tetapi secara politik tidak. Walau ada perbedaan dalam pendirian politik, tetapi hubungan pribadi antar kedua beliau itu tetap baik. Maka Bung Hatta pun resmi mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden. Dalam pimpinan AD, kami semua sepaham bahwa terjadinya “Dwitunggal” akan membahayakan persatuan bangsa. Kami harus bersiasat. Kolonel Gatot dan saya mendadak mendatangi Bung Karno yang sedang sarapan. Saya ajukan keinginan panglima-panglima AD, agar segera Soekarno-Hatta bertemu. Nampak beliau merasa agak dipaksa. “Apa yang saya mesti perbuat?” tanya beliau. Saya “ditekan” bahwa dirasakan perlu membicarakan bersama soal-soal penting. Beliau terus menuliskannya. Saya terima surat beliau itu untuk Bung Hatta. Dan Gatot segera beralih kepada acara lain yang disukai beliau, sehingga suasana tidak tegang lagi. Pertemuan dengan Bung Hatta tenang-tenang saja. Kata beliau, pendirian masing-masing sudah jelas, tetapi beliau selalu tersedia berbicara. Maka terjadilah pertemuan antara Soekarno-Hatta tanpa suatu kemufakatan apa-apa. Setelah peristiwa “Dewan Daerah”, maka dengan Perdana Menteri Juanda kembali dibicarakan usaha untuk mengikat Soekarno-Hatta kepada satu konsep dasar politik. Kabinet mengusahakan Musyawarah Nasional, di mana Dwitunggal ikut bersama panglima-panglima, para gubernur, dan lain-lain dari masing-masing daerah. Diadakanlah suatu panitia keutuhan Dwitunggal, kalau tidak salah diketuai oleh Kolonel Kosasih, panglima Siliwangi. Hasilnya adalah suatu pernyataan bersama dengan upacara, diteken oleh Dwitunggal di Pegangsaan Timur 56. Tempat Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dan pengibaran Dwiwarna pada tanggal 17 Agustus 1945. Tetapi hubungan politis tidak berubah, walaupun selanjutnya disusulkan Munas Pembangunan yang lebih luas, mengingat daerah-daerah membawakan tema pembangunan. Dalam pimpinan TNI pada saat itu banyak yang berpendapat bahwa sejarah akan lain jika Dwitunggal dapat dipertahankan. Maka kami berpendapat bahwa kalau Dwitunggal tanggal, TNI harus dapat menjamin persatuan Indonesia, mengingat masih labilnya keadaan negara dewasa itu serta luasnya pergolakan. Dinamika mencari jalan keluar pada tahun 1950-an membawa pergolakan bersenjata di hampir seluruh Tanah Air. Bagian-bagian TNI, sesuai dengan sifat kerakyatannya yang masih kuat dewasa itu, ikut terlibat. Pada puncaknya pergolakan itu mengenai ibu kota dan daerah-daerah luas, sehingga seperenam dari wilayah Republik Indonesia terlepas dari kontrol Pemerintah Pusat, dan dihadapinya sekitar 100.000 kekuatan bersenjata. Demikian pula terjadi intervensi “tertutup” negara-negara “Barat” yang berkali-kali kami alami di lapangan. Dan sebagaimana kesaksian penerbang asing yang tertembak jatuh, maka kami bergerak untuk mendarati Morotai, Gorontalo dan Sangir, sebelum menyerbu Minahasa. Saya baca buku harian penerbang Amerika tersebut, dan ditambah keterangan lisannya, maka jelaslah keterlibatan badan rahasia Amerika Serikat. Menurut informasi yang ada pada waktu itu, kita berpacu dengan waktu terhadap kemungkinan intervensi dari luar, serta terhadap kemungkinan tibanya pesawat pembom Amerika yang bukan tandingan kita. Tetapi kami mendapat informasi pula bahwa Bung Hatta tidak dapat membenarkan cara pemberontakan oleh pihak sana. Memang Bung Hatta adalah seseorang yang konsisten kepada prinsip-prinsipnya, menghadapi siapa pun. Maka setelah kembali kepada UUD 1945, ada lagi usaha kami memulihkan Dwitunggal, tetapi Bung Karno hendak mengosongkan dahulu kursi wakil presiden, dan mengharapkan Bung Hatta dapat memimpin suatu dewan perancang nasional, yang rupanya tidak mendapat respon. A.H. Nasution, Pribadi Manusia Hatta, Seri 7, Yayasan Hatta, Juli 2002