250 likes | 468 Views
ABC HUKUM PERBURUHAN INDONESIA. Indah Saptorini, MH ICEM (Indonesia) National Coordinator Monitoring MNC & Social Dialogue Project. Hindia Belanda. Buruh perkebunan tembakau di Sumatera Timur: Buruh = Koelie = Kuli
E N D
ABC HUKUM PERBURUHAN INDONESIA Indah Saptorini, MH ICEM (Indonesia) National Coordinator Monitoring MNC & Social Dialogue Project
Hindia Belanda • Buruh perkebunan tembakau di Sumatera Timur: Buruh = Koelie = Kuli • Tahun 1880 ada kebijakan bernama “Koelie Ordonantie” atau juga “Contract Koelie” atau juga disebut “Poenale Sanctie” • Poenale Sanctie berisi tentang ketentuan sanksi pidana atau hukuman badan bagi buruh yang melanggar ketentuan
Hindia Belanda • Kuli yang melarikan diri, mencuri, membuat kerusuhan akan ditahan oleh Polisi dan Tuan Kebun berhak untuk menahan, tidak boleh lebih dari 24 Jam dengan biaya penahanan akan dibebankan kepada kuli tersebut. • Dalam kehidupan sehari-hari, kuli kontrak dipandang sebagai suatu pekerjaan dan status yang amat rendah dan paling hina. • Jam kerja Kuli 10 jam/hari dengan masa kontrak selama 3 tahun dan tidak boleh meninggalkan perkebunan tanpa izin.
Kuli berkebangsaan Cina di sebuah perkebunan di Deli 1900 (Koleksi: www.kitlv.nl) Diambil dari blog phesolo.wordpress.com
Hindia Belanda • Sistem Kerja Paksa dengan menggunakan Poenale Sanctie juga dibicarakan untuk pertamakalinya pada Konferensi Ke-12 ILO tanggal 30 May-21 Juni 1929 di Jenewa. Dalam Konferensi tersebut, Haji Agus Salim berbicara sebagai wakil dari kaum buruh hindia belanda.
Undang-undang perburuhan 1945-1950 • Undang-undang Nomor 33 tahun 1947 tentang kecelakaan kerja • Undang-undang Nomor 12 Tahun 1948 tentang Kerja (Pasal 10 buruh tidak boleh menjalankan pekerjaan lebih dari 7 jam sehari dan 40 jam seminggu)(cuti haid hari pertama dan kedua bagi buruh perempuan) • UU No 23 tahun 1948 tentang pengawasan perburuhan
Tiga Aktor Hukum Perburuhan • Pemerintah • Menjaga stabilitas negara termasuk relasi pengusaha-pekerja; • Dalam konteks hukum perburuhan, negara memberikan proteksi melalui undang-undang perburuhan; • Pengusaha • Karakter memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya; • Pekerja • Mendapatkan kesejahteraan • Undang-undang yang memberikan proteksi;
Kebijakan Perburuhan yang Fleksibel & Ramah Pasar • Tahun 1998, Pemerintah dengan asistensi ILO membahas rencana “reformasi” aturan perburuhan. UU No.22 Tahun 1957 UU 12/1964 tentang Perselisihan perburuhan, UU No 1/48UU Kerja, UU No 23/48 Tentang Pengawasan Perburuhan, UU No 33/1947 tentang Kecelakaan Kerja
White Paper Bappenas • Kebijakan Pasar Kerja yang Ramah Pasar dan fleksibel (Regulasi perburuhan yang melunak dan liberal) • White Paper BAPPENAS “Employment Friendly Labor Policies” 2003 • Untuk mengurangi pengangguran, kebijakan pasar kerja yang selama dijalankan perlu diganti dengan kebijakan penciptaan lapangan kerja • Hasilnya; pelunakan aturan ditiga bidang a.l. mengurangi kenaikan UMR tidak lebih dari 4 % 2 tahun sekali, PHK dipermudah dan pesangon diperkecil, dan perluasan kontrak kerja dan outsourcing
Aturan Perburuhan Fleksibel Melahirkan Konsekuensi; • Peran negara yang semakin berkurang dalam hubungan perburuhan • Easy to fire Easy to Hire • Meningkatnya jumlah buruh kontrak & outsourcing---jumlah buruh tetap menurun • Menurunnya peran serikat buruh dalam berunding bersama • Sistem peradilan yang tidak memihak buruh
3 undang-undang pokok perburuhan • Undang-undang No 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh; • Undang-undang No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan • Undang-undang No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
UU No 21/2000 • Undang-undang ini disahkan pada 4 Agustus 2000, sebagai bagian dari ratifikasi Indonesia terhadap konvensi ILO No 87 dan Konvensi ILO No 98 tentang Kebebasan Berserikat dan Hak Berunding Bersama • 10 orang maksimal dapat membentuk serikat buruh dianggap kontroversi • Ketentuan Pidana bagi Pengusaha yang melakukan tindakan anti union/union busting Pasal 28 jo Pasal 43
Pasal Inti dari UU 21/2000 Secara administratif, serikat buruh harus tercatat di Dinas Tenaga Kerja. Pencatatan dilampiri dengan daftar nama anggota pembentuk, AD/ART/susunan nama pengurus (Pasal 18) Siapapun dilarang untuk menghalang-halangi atau memaksa pekerja untuk membentuk/tidak membentuk, menjadi pengurus/tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja dengan cara:
Pasal 28 UU 21/2000 • Melakukan PHK, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan atau melakukan mutasi; • Tidak membayar atau mengurangi upah pekerja; • Melakukan intimidasi dalam bentuk apapun; • Melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja • Pelanggaran atas Pasal 28 dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 tahun dan atau denda paling sedikit 100 juta dan paling banyak 500 juta
Kendala Pasal 28 jo Pasal 43 • Praktek Anti Union/Union Busting dengan berbagai pola dan bentuk nya masih tetap marak dan terus terjadi; • Kebijakan anti union manajemen terkadang tidak disadari oleh serikat pekerja; • Lemahnya pegawai pengawas dalam menindaklanjuti laporan anti union/union busting; • Ketidaktahuan kepolisian atas unsur pidana dalam UU No. 21/2000
UU 13/2003 • Sebagai UU payung yang mengatur hukum ketenagakerjaan secara umum, didalamnya mengatur berbagai isu perburuhan; jam kerja, pengupahan, hak mogok, hubungan kerja kontrak dan outsourcing, pengawasan perburuhan, dll • UU ini juga mengatur ketentuan pidana dan denda administratif bagi pengusaha yang melanggar aturan ketenagakerjaan
Pasal-pasal krusial dalam UU No.13/2003 • Pasal 64-66 (tentang outsourcing) • Penyedia jasa tenaga kerja • Pemborongan pekerjaan • Pasal 150 -172 (tentang PHK) • Alasan-alasan terjadinya PHK; karena perusahaan tutup tutup karena pailit atau 2 tahun rugi (harus dibuktikan dgn laporan keuangan), efisiensi, merger, perubahan kepemilikan, mengundurkan diri, pensiun, mangkir 5 hari kerja dianggap mengundurkan diri (Pasal 168), Pasal PHK karena kesalahan berat (oleh Mahkamah Konstitusi Pasal 158 diputuskan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat)
Hak Mogok • Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja dan serikat pekerja dilakukan secara sah, tertib dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan. • “sah” artinya mengikuti prosedural yang diatur undang-undang. • “akibat gagal perundingan” dilakukan karena; • apabila upaya perundingan lebih dulu namun gagal menjadi kesepakatan; • Apabila pihak pengusaha menolak untuk diajak berunding
Syarat administratif • 7 hari kerja sebelum mogok dijalankan, pekerja wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan Disnaker • Waktu (hari, tanggal dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja; • Tempat mogok kerja; • Alasan dan sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; • Tanda tangan ketua dan sekretaris sebagai penanggung jawab mogok kerja;
Akibat Hukum Mogok Tidak Sah • Biasanya pengusaha menggunakan Pasal Mangkir 5 hari kerja untuk langsung mem PHK pekerja yang mogok; • Kriminalisasi buruh • Perbuatan tidak menyenangkan (Pasal 335 KUHAP) • Pasal kekerasan (Pasal 170 KUHP) • Pasal fitnah, bohong, (Pasal 311 KUHP)
Peran SB dalam Mogok • Rencanakan mogok dengan matang • Perbandingan permasalahan dengan keluhan anggota yang sesungguhnya • Sejauhmana perusahaan mau mendengar • Tujuan mogok dan langkah aksi selanjutnya; • Susun perangkat aksi yang efektif (koordinator aksi, korlap, humas, dll)
UU No 2/2004 Pemberlakuannya ditunda setahun dengan Perpu 1/2005 PHI baru diresmikan pada 14 Januari 2006 Pada masa transisi dikeluarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/034/SK/IV/2006 tentang Petunjuk Pelaksana UU No 2/2004 tentang PPHI Ada sekitar 33 Pengadilan Hubungan Industrial yang tersebar di 33 Provinsi di seluruh Indonesia
Perselisihan yang diatur dalam UU 2/2004 • Perselisihan Hak • Perselisihan PHK • Perselisihan Kepentingan • Perselisihan antar SP/SB • Serikat Buruh dapat bertindak sebagai “Kuasa Hukum” • Hukum acara yang digunakan adalah hukum acara perdata.
Kondisi Riil PHI • Jargon “cepat, adil,dan murah” masih dipertanyakan bentuknya; • Mafia peradilan dan Mafia hukum di setiap lini peradilan (mulai dari panitera hingga majelis hakim); • Putusan yang tidak dapat/sulit dieksekusi; • Proses beracara yang rumit