220 likes | 513 Views
Perkembangan Hukum Pidana Barat. Oleh YAS. Perkembangan Hukum Pidana ke arah Bersifat Hukum Publik. Hukum Pidana ketika Bersifat Hukum Perdata. Hukum Pidana yang bersifat hukum publik yang kita kenal sekarang, telah melalui suatu perkembangan yang lama dan lamban.
E N D
Perkembangan Hukum Pidana Barat Oleh YAS
Perkembangan Hukum Pidana ke arah Bersifat Hukum Publik. • Hukum Pidana ketika Bersifat Hukum Perdata. • Hukum Pidana yang bersifat hukum publik yang kita kenal sekarang, telah melalui suatu perkembangan yang lama dan lamban. • Dalam pra sejarah perkembangan hukum pidana, suatu tindakan/perbuatan hanya dipandang sebagai suatu tindakan merusak atau merugikan kepentingan orang lain, yang kemudian disusuli dengan pembalasan. • Pembalasan itu pada umumnya tidak hanya merupakan kewajiban dari seseorang yang dirugikan atau terkena tindakan, melainkan meluas menjadi kewajiban dari seluruh keluarga, famili, misal budaya “carok” di Madura. • Tindakan balas-membalas disebut juga sebagai berdasarkan asas talis (ius talionis = hukum balas membalas). • Tindakan-tindakan pembalasan seperti ini masih bersifat Hukum Perdata, karena digantungkan kepada kehendak dari fihak yang merasa dirugikan.
b.Perkembangan ke Arah Sifat Hukum Publik. • Penguasa atau Primus Inter Pares dari suatu masyarakat yang lebih maju pada mulanya berusaha menghukum orang-orang yang mengancam kepentingan masyarakat dan menghambat tindakan-tindakan pembalasan oleh yang dirugikan secara sendiri-sendiri. • Demi keamanan dan ketertiban timbullah “stelsel komposisi” (CompositieStelsel atau Afkoop Stelsel).yi suatu kewajiban bagi yang merugikan (penjahat, pembunuh dan sebagainya) untuk melakukan “penebusan kesalahannya” dengan membayar ganti rugi atau denda kepada orang yang dirugikan. • Disamping itu diwajibkan pula membayar denda kepada masyarakat yang dirugikan, (dalam hal terjadi pembunuhan) untauk mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat itu yang disebut sebagai fredus/fredum. Semula jumlah denda lebih banyak tergantung kepada keinginan dari fihak yang dirugikan, tetapi kemudian dikendalikan dan ditentukan oleh Penguasa. • Dengan demikian “penghukuman” sudah mulai berkembang kearah sifat hukum publik, yang penghukumannya berdasarkan pada kepentingan masyarakat dan menjadi kewajiban Penguasa.
Hukum Pidana di Negara-Negara Barat. • Socrates, Aristoteles (Yunani) dan Cicero (Romawi) mencari bentuk hukum yang lebih sempurna dari hukum positif yi hukum alam yang dianggap lebih sempurna, abadi dan tidak berubah karena tempat dan waktu; • Cicero yakni ”Ubi societas, ibi ius” yang memberi gambaran hubungan hukum dengan masyarakat. Tiada masyarakat tanpa hukum dan tiada hukum tanpa masyarakat. Hukum diadakan oleh masyarakat untuk mengatur kehidupan mereka. • Thomas Aquiono (abad pertengahan),: Tuhan sebagai pencipta manusia (masyarakat), sehingga tugas hukum positif adalah melengkapi hukum alam dan hukum manusia yang berubah-ubah menurut tempat dan waktu ; • Grotius (Hugo de Groot), meletakan ajaran hukum alam baru yang terlepas dari dasar-dasar Ke- Tuhan- an; • Imamnuel Kant; semula manusia hidup berkelompok sebelum ada negara; kemudian negara diadakan atas dasar perjanjian masyarakat dimana masyarakat menyerahkan sebagian kekuasaan yang diberikan alam (statusnaturalis) kepada negara (status civilis), sehingga timbul kekuasaan pada negara; ajaran “ Contract Social” ini diikuti Thomas Hobbes, John Locke, J.A Roussau yang kemudian menjadi landasan terjadinya Revolusi Perancis;
Hukum CANNONIK (Corpus iuris CANNONICI) yang dibuat sekitar tahun 1140, yaitu Hukum Gereja, banyak mempengaruhi hukum pidana. Sejak resepsi dari Hukum ROMAWI sampai waktu revolusi Perancis meletus, pelaksanaan penghukuman sangat kasar dan kejam. Dasar dari penghukuman pada waktu itu adalah perbuatan pembalasan yang dilakukan oleh Penguasa demi nama Tuhan. Tujuan satu-satunya adalah untuk menakut-nakuti (afschrikking). Hukum Pidana pada ketika itu belum merupaka suatu ketentuan yang dipegang dan dipedomani. Karena sumber hukum tidak pasti maka terjadilah kesewenang-wenangan. Hakim-hakim yang diangkat oleh dan bekerja untuk raja mempunyai hak menghukum yang tidak terbatas.
Pengaruh Hukum Kebiasaan (Costumen) Dalam Kemunculan Kodifikasi • Hukum kebiasaan menurut Filips Wielant, ahli hukum dari abad XVI, kebiasaan sebagai sumber hukum didefinisikan sebagai hukum tidak tertulis yang terdiri dari ketentuan-ketentuan sehari-hari (usance) dan perbuatan-perbuatan yang terus menerus dilakukan oleh orang-orang dalam kehidupan dan pergaulan hidup serta diwujudkan secara nyata tanpa paksaan masyarakat atau bangsa, selama kebiasaan ini diikuti secara berkesinambungan.[1] • [1]Emeritius John Gillisen dan Emeritius Frits Gorle, Historische Inleiding tot het Recht, diterjemahkan oleh Freddy Tengker dan editor Ahli Lili Rasjidi, (Bandung: PT. Refika Aditama, Januari 2005),hal.245.
Karakteristik hukum kebiasaan • Hukum Tak Tertulis, Hukum kebiasaan mempunyai kelemahan-kelemahan, karena tidak tertulis sehingga kurang menjamin kepastian hukum. Karenanya pada abad ke-18 di Eropah hukum kebiasaan sebagai sumber hukum mulai ditinggalkan dan timbulah gerakan-gerakan kodifikasi yang menekan pemerintah untuk menuangkan hukum dalam kodifikasi. Kodifikasi pertama kali (Code Penal dan Code Civil) di Eropah dilakukan oleh Perancis dan kemudian ditiru negara-negara Eropah lainnya. Diantaranya adalah Belanda pada tahun 1938. • Kebiasaan yang dibentuk berdasarkan kelaziman dan tindakan yang berulang-ulang. Semua kebiasaan adalah kelaziman, namun tidak semua kelaziman adalah kebiasaan. Perbedaan itu nampak pada kekuatan mengikat pada masyarakat seperti sopan santun, mode, tabiat yang baik dan lain-lain yang tidak mempunyai kekuatan mengikat secara yurisdis. • Merupakan hal yang lazim dilakukan di muka umum. • Disetujui oleh sebagian besar masyarakat; sebagian besar ini bukan berarti terjadi kesesuaian paham sepenuhnya.
d. Kebiasaan tersebut dilakukan dalam jangka waktu periode tertentu yang cukup lama.[1] e. Kebiasaan tersebut harus rasional; dari pengertian hukum alam maka suatu kebiasaan adalah rasional bila bila ia sesuai dan diterima sesuai dengan sikap dan perilaku dari para anggota masyarakat; sedangkan dari pandangan sejarah hukum maka istilah adil dan rasio harus diartikan sesuai dengan konotasi yang diberikan penguasa maupun para ahli hukum untuk setiap periode tertentu. f. Dalam hukum kebiasaan ada untung rugi;[2] ”nemo ius ignorare censeter”adagium yang menyatakan setiap orang dianggap mengetahui undang-undang [1]Di Perancis pada abad XV dan XVI dijumpai paling sedikit ada 600 wilayah hukum kebiasaan yang berbeda satu dengan lainnya. [2]Keuntungan antara lain hukum kebiasaan dilakukan secara spontan, sedangkan undang-undang merupakan pernyataan kehendak secara eksplisit dari pengauasa pembuat undang-undang;kebiasaan berevolusi secara langgeng dan lamban serta konservatif; sedangkan kerugian diantaranya adalah kebiasaan tidak mempunyai kepastian, selalu mengikuti perubahan zaman, kebiasaan mengikuti masyarakatnya dimana bertempat tinggal.
Alat-alat bukti untuk membuktikan hukum kebiasaan • Pemeriksaan ”Turba” ”Inquisitio per turbam” adalah sebuah penelitian yang bertujuan untuk membuktikan sebuah aturan hukum kebiasaan tertentu. Maka atas dasar permohonan salah satu pihak atau secara ex officio dilakukan oleh hakim sendiri, melalui dengar pendapat dengan sejumlah orang-orang yang disebut turba. Turba diperkirakan mempunyai kekhususan dalam menguasai hukum kebiasaan, dan bila orang-orang tersebut seia-sekata dalam menegaskan eksistensi aturan tersebut, maka hal itu dianggap telah terbukti.[1] Pada masa itu (abad XIII dikenal peribahasa hukum ”testis unus, testis nullus”; hal ini diterapkan pada waktu memeriksa saksi-saksi turba, dimana bila keterangan tersebut didapat hanya dari satu saksi turba dianggap tidak mengikat; namun bila ada keterangan 2 saksi turba yang berkaitan maka kesaksian tersebut dianggap mengikat. • Daerah Kebijaksanaan; Dalam salah satu ”Placita Generalia” artinya dari salah satu pertemuan tahunan antara penduduk desa, atau penduduk wilayah tuan tanah, maka kewajiban-kewajiban hukum kebiasan yakni ”Coutedines” atas permintaan tuan tanah untuk diingatkan kembali. • [1]Pada tahun 1270 Raja Perancis mengatur dalam suatu ordonansi mengenai bagaimana cara itu dilakukan; sedikitnya dipilih 10 orang diantara anggota masyarakat yang dapat diipercaya sebagai saksi hukum guna menetapkan adanya suatu hukum kebiasaan.
Unifikasi: • Usaha unifikasi hukum ini ditandai dengan adanya perintah dari Raja Karel VII pada tahun 1454 yang memerintahkan pencatatan hukum kebiasaan (coutemes) di seluruh Perancis demi kepentingan kepastian hukum. Usaha ini dilanjutkan oleh Lodewijk XI dalam abad ke-15 yang menghendaki ”une seule couteme” untuk seluruh kerajaan. • Kemudian dalam abad ke-16 pelbagai parlemen propinsi menyatakan keinginan mereka untuk membuat penyatuan ordonansi-ordonasi dan coutumes dalam kitab undang-undang
Timbulnya kodifikasi: pertengahan abad VI M • Dimulai pada zaman Romawi. Dapat dikatakan hukum Romawi yang dituangkan dalam Corpus Iuris Civil berlaku hampir selama seribu tahun atau dalam pertengahan abad ke-6 Masehi. Dari sinilah kemudian hukum Romawi mengembankan dirinya meliputi wilayah-wilayah yang semakin luas di seluruh Eropah. Gejala ini dinamakan penerimaan (resepsi) hukum Romawi.
Resepsi hukum Romawi kedalam Eropah Barat disebabkan : • Mulai abad pertengahanbanyakmahasiswa-mahasiswadariEropahBarat dan Utarabelajar di Universitas-universitas di Italia dan PerancisSelatan (dimana Italia merupakanpusatkebudayaanEropah). Dimana pada era itu yang dipelajarihanyahukumRomawi. Setelahmerekatiba di tanahairnyamasing-masingmakaHukumRomawiakanditerapkan apabila hukumnyasendiritakdapatmenyelesaikanpersoalanhukummereka. Bahkankadangkalahukumnyasendirisengajatidakdipergunakan. • Adanyakepercayaanpadahukumalam yang asasi, yang dianggapsebagaisuatuhukum yang sempurnadanberlakubagisetiapwaktu (zaman) dantempat, olehkarenaitumereka yang menerimahukumalaminidapatmelepaskandirinyadarihukumRomawi yang telahdipelajaridinegara Italia danPerancis Selatan, makabiasanyamerekamenyamakanhukumalamituhukumRomawi.
Perancis melakukan Resepsi Hkm. Romawi • Salah satu negara di Eropah yang meresepsi hukum Romawi adalah Perancis.[1] Hal ini dikarenakan dalam sejarahnya Perancis pernah ditaklukan oleh Caesar, kira-kira 50 tahun sebelum Masehi. • Kemudian dalam abad ke-5 sesudah Masehi, timbullah perubahan dimana bangsa Germania memasuki Gallia. Mula-mula bangsa Wetsgota yang menduduki barat daya Gallia. • Dibawah pimpinan raja Eurich mereka memperluas daerah mereka sampai Provence dan Auvergene dan sebagaian besar dari Spanyol. Setelah bangsa Westgota kemudian datang bangsa Bourgundi yang menduduki kini dikenal dengan Savoye, dan dari sana memperluas kerajaan mereka kearah selatan. • Kemudian bangsa Salis Franka dibawah Clovis mengalahkan daerah sebelah utara sungai Loire dan dibawah para penggantinya, mengalahkan juga daerah bangsa Bourgundi dan Westgota (kecuali Languedoc) yang dimasukkan ke dalam daerah kerajaan Perancis.[2] • [1]Ibid., hal.108. • [2]L.J van Apeldoorn, Inleiding tot de Studie van Het Nederlandse Recht, diterjemahkan oleh Oetarid Sadino, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1975), hal. 241.
Kaisar Napoleon pada tanggal 12 Agustus 1800 membentuk suatu panitia yaitu Portalis, Trochet, Bigot de Preameneu dan Malleville yang ditugaskan untuk membuat rancangan kodifikasi. Sumber bahan kodifikasi adalah hukum Romawi menurut Peradilan Perancis dan menurut tafsiran yang dibuat oleh Potier dan Domat, hukum kebiasaan daerah Paris (Coutame de Paris), peraturan perundangan yang disebut ordonansi dan hukum yang dibuat pada waktu Revolusi Perancis (hukum Intermedier atau hukum sementara waktu). Hasil kodifikasi ini kemudian diumumkan pada tanggal 21 Maret 1804. • Pada tahun 1807 diundangkan menjadi ”Code Napoleon”.[1] • [1]E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia,(Jakarta: PT. Ichtiar Baru dan Sinar Harapan, 1983), hal. 476.
Peristiwa JEAN CALAS • Pada abad ke XVIII ada dua peristiwa yang menggemparkan, yang mempunyai pengaruh besar terhadap opni publik yaitu mengenai pedagang JEAN CALAS (1762) di Toulouse dijatuhi hukuman mati. • VOLTAIRE telah menggugatnya dan meminta supaya diadakan pemeriksaan revisi. Pemeriksaan revisi terjadi pada tahun 1765, dimana dinyatakan bahwa JEAN CALAS tidak bersalah dan putusan yang pertama dibatalkan; tetapi nyawa JEAN CALAS sudah tidak ada lagi; • Peristiwa kedua yang terjadi pada waktu 1764, adalah tulisan BECCARIA “Dei delitti e delle pene” yang memprotes pelaksanaan hukuman-hukuman yang diluar peri kemanusiaan dan kejamnya hukuman-hukuman. • Kedua peristiwa itu, di samping memberikan anjuran pemakai akal budi pada zaman RENAISSANCE (Aufklarung), sangat banyak pengaruhnya terhadap pembaharuan hukum pidana.
Code Penal di Perancis • Pada tahun 1791 setelah Revolusi Perancis terbentuk CODE PENAL yang pertama yang dalam banyak hal dipengaruhi oleh jalan pikirannya BECCARIA; • Pada tahun 1810 dalam pemerintah NAPOLEON yang berlaku hingga saat ini. • Code Penal tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh ajaran dari seorang utilist Inggris yang bernama BENTHAM. Hukum Pidana ini dalam banyak hal masih ditujukan untuk menakut-nakuti, terutama terlihat dari ancaman pidananya.
Hukum Pidana di Negeri Belanda • Di Belanda mulai ada gerakan untuk membuat perundang-undangan hukum pidana pada tahun 1795. baru tahun 1809 terwujud : CRIMINEEL WETBOEK VOOR HET KONINGKRIJK HOLLAND dalam pemerintahan LODEWIJK NAPOLEON, yang merupakan kodifikasi umum yang pertama yang bersifat Nasional.[1]) • Ppenjajahan Perancis tahun 1811, yang memberlakukan Code Penal Perancis sebagai penggantinya sampai tahun 1886. Pada masa ini C.P. tersebut banyak mengalamai perobahan-perobahan terutama mengenai ancaman pidananya yang kejam menjadi diperlunak. Pidana penyiksaan dan pidana “cap-bakar” ditiadakan. Salah satu peristiwa penting yang terjadi ketika itu ialah penghapusan pidana mati (dengan Undang-Undang 17 September 1870 stb. No. 162) dalam Wvs, sedang di WvMS jika terjadi pada waktu damai dan tidak dilakukan kepada musuh. • Pada tahun 1881 hukum pidana nasional Belanda terwujud dan yang mulai berlaku pada tahun 1886, yang bernama “WETBOEK VAN STRAFRECHT” sebagai pengganti Code Penal warisan dari Napoleon. • [1] Schreuder, Het Wetboek van Strafrecht, hal. 43
Contoh yg memakai Sejarah Hukum: John Locke_ Montequie • Locke mengemukakan pembedaan kekuasaan negara sebagai fungsi-fungsi tata negara yakni legislatif[1], eksekutif[2]dan federatif[3]. Pandangan John Locke yang dimuat dalam bukunya ”Second Treaties of Civil Goverment” (1690). • Baron de Montesquieu (1689-1755) yang menuliskan berdasarkan hasil penelitiannya terhadap sistem konstitusi Inggris, pemikiran Locke ini diteruskan dengan mengembangkan trias politica yang membagi kekuasaan negara dalam 3 cabang kekuasaan, yaitulegislatif, eksekutif danyudikatif.[4] [1]Legeslatif diartikan sebagai kekuasaan pemerintah negara untuk membentuk undang-undang. Kekuasaan tersebut dibatasi bila menyimpang dari tujuan negara. Kekuasaan tersebut terikat pada hukum alam yang tetap ada pada rakyat. [2]Eksekutif diartikan sebagai kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang demi kepentingan umum. Kekuasaan Yudikatif tidak dibicarakan oleh Locke karena dianggap bagian dari Eksekutif ini, baru setelah Montesquieu dan Kant ini dibedakan. [3]Federatif diartikan sebagai kekuasaan untuk menyatakan perang atau mengadakan perdamaian, mengadakan kontrak dengan negara lain. • [4]Michael T. Molan,Constitutional Law: Machinery of Government. (London: Old Bailey Press, 2003), p. 63-64.
Montesquieu (”L’Esprit des Lois “/”The Spirit of Laws”): • ”When the legeslative and executive powers are united in the same person, or in the same body of magistrate, there can no liberty, because apprehensions may arise, less the monarch or senate should enack tyranical laws, to execute them in a tyrannical manner. Again, there is no liberty, if the judiciary power be not separated from the legislative and executive. Were it joined with tke legislative, the life and liberty of the subject would be exposed to arbitrary control, for the judge would be then the legislator. Were it joined to the executive power, the judge may behave with violence and oppression. There would be an end of everything, were the same men or the same body, whether of the nobles or of the people, to exercise those three powers, that of enacting laws, thet of executing the public resolutions, and of trying the causes of individuals”.
Perbedaaan: • John Locke mengutamakan mengutamakan fungsi federatif, sedangkan Montesquieu mengutamakan fungsi kekuasaan kehakiman (yudisial). • Montesquieu lebih melihat pembagian atau pemisahan kekuasaan itu dari segi hak asasi manusia setiap warga negara. • Sedangkan John Locke lebih melihatnya dari segi hubungan keluar dan kedalam dengan negara-negara lain. Bagi John Locke, penjelmaan fungsi defencie baru timbul apabila fungsi diplomacie terbukti gagal. Oleh karena itu yang dianggap penting adalah fungsi federatif, sehingga fungsi yudisial dimasukkan dalam fungsi legeslatif, karena terkait dengan pelaksanaan hukum. • Tetapi bagi Montesquieu, fungsi pertahanan (defence) dan hubungan luar negri (diplomacie) dianggap termasuk dalam fungsi eksekutif, sehingga tidak perlu dibuat tersendiri. Justru yang dianggap penting adalah fungsi kekuasaan kehakiman.
Aliran legis[1] yang tumbuh pada masa itu begitu bersemangatnya, sehingga pendapat Montesquieu yang dikutip Paul Scholten (1932:2) menyatakan antara lain bahwa hakim-hakim rakyat tidak lain hanya corong yang mengucapkan teks undang-undang (La bouche de la loi). • Jika teks itu tidak berjiwa dan tidak manusiawi, para hakim tidak boleh mengubahnya, baik tentang kekuatannya maupun tentang ketaatannya. • Para ahli hukum pada masa itu berpendapat bila hukum sudah lengkap dalam undang-undang. Undang-undang sebagai salah satu sumber hukum. Untuk dalam pertimbangan hukumnya hakim harus melihat dalam undang-undang saja. [1]Penganut aliran legisme diantaranya Montesquieu, Rousseou, Robbespiere, Rudolf van Jhering, G. Jellineck, Carre de Malberg, H. Nawiatski, dan Hans Kelsen.