480 likes | 923 Views
PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN. SOSIALISASI RUU TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME. Oleh: DR. Yunus Husein, S.H., LL.M. Jakarta, 9 Pebruari 2011. Sistematika.
E N D
PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN SOSIALISASI RUU TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME Oleh: DR. Yunus Husein, S.H., LL.M Jakarta, 9 Pebruari 2011
Sistematika • Latar belakang, aspek sosiologis, aspek yuridis serta tujuan penyusunan RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme; • Kaitan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan Pendanaan Terorisme; • Peran PPATK dalam Pencegahan dan Pemberantasan Pendanaan Terorisme; • Materi RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
Latar Belakang I. Perspektif Nasional • Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang mengancam kedaulatan setiap negara. Negara wajib melindungi masyarakat dari ancaman tindak pidana terorisme dan aktifitas yang mendukung terorisme; • Pendanaan merupakan faktor penting dalam aksi terorisme sehingga upaya penanggulangan terorisme harus diikuti dengan pencegahan dan pemberantasan terhadap pendanaan terorisme; • Dengan telah diratifikasinya Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme, maka Indonesi wajib untuk membuat atau menyelaraskan peraturan perundang-undangan terkait pendanaan terorisme sehingga sejalan dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam konvensi tersebut; • Peraturan PerUUan yang berkaitan dengan pendanaan terorisme belum mengatur pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme secara memadai dan komprehensif. II. Perspektif Internasional; • Indonesia harus menaruh perhatian penuh untuk memperbaiki kelemahan dalam memenuhi 9 Rekomendasi Khusus FATF mengenai Pendanaan Terorisme. • Hasil penilaian Mutual Evaluation (ME), penanganan anti pendanaan terorisme di Indonesia dipandang masih lemah. • Komitmen Pemri yang diwakili oleh Menteri Keuangan kepada FATF.
9 Rekomendasi Khusus FATF • Ratifikasi dan Implementasi Konvensi PBB; • Kriminalisasi Pendanaan Terorisme dan yang terkait Pencucian Uang; • Pembekuan dan Perampasan Aset Teroris; • Melaporkan Transaksi Mencurigakan terkait Terorisme; • Kerjasama Internasional; • Meregulasi Alternative Remittance System (ARS); • Informasi terkait Wire Transfer (WT); • Meninjau Peraturan terkait Non-Profit Organization (NPO); dan • Mendeteksi Pergerakan Pembawaan Uang Lintas Batas (CBCC) dan Pembawaan Instrumen Pembayaran lainnya (BNI).
Mutual Evaluation Report (MER) Rekapitulasi akhir rating pada MER yang telah diadopsi dalam sidang pleno APG di Bali pada tanggal 9 Juni 2008 adalah sbb:
Aspek Yuridis • UU No.6/2006: Ratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing ofTerorism, 1999; • UU No. 15/2003: Anti Terorisme; • UU No. 8/2010: Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
UU No.15 Tahun 2003 Pasal 11: “Setiap orang yang mengumpulkan atau menyediakan sejumlah dana dengan tujuan…” Pasal 12: Setiap orang yang menyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan, dimana harta kekayaan disini didefinisikan secara lebih luas, untuk mendukung aksi terorisme yang terkait dengan bahan-bahan nuklir, senjata kimia dan biologis, dan lain-lain. Pasal 13: Setiap orang yang memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, antara lain dengan memberikan atau meminjamkan uang atau barang atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku tindak pidana terorisme.
UU No.15 Tahun 2003 (lanjutan…) Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim berwenang memerintahkan bank dan lembaga keuangan lainnya melakukan pemblokiran, penyitaan dan perampasan harta kekayaan yang digunakan untuk kegiatan terorisme atau kegiatan lain yang terkait terorisme (Pasal 29 ayat (1))
UU No. 8 Tahun 2010 Terorisme adalah salah satu kejahatan asal (predicate crime) dari money laundering (Pasal 2 ayat (1) huruf n) Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana dalam Pasal 2 ayat (1) huruf n.
Aspek Sosiologis Adanya Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1267 tanggal 15 Oktober 1999. Resolusi ini telah diadopsi dalam Bab VII United Nations Charter. Inti dari Resolusi ini antara lain meminta setiap negara untuk melakukan “pembekuan seketika” terhadap dana dan aset keuangan lainnya atau sumber ekonomis dari individu dan entitas yang berkaitan dengan Al-Qaida, Usama bin Laden dan/atau Taliban. Karena itu perlu landasan hukum yang kuat sehingga memungkinkan Indonesia melaksanakan Resolusi DK PBB tersebut; Industri keuangan telah menerapkan KYC/CDD antara dalam rangka pencegahan dan pemberantasan pendanaan terorisme sesuai ketentuan yang dikeluarkan regulator seperti Peraturan BI Nomor 11/28/PBI/2009 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum; Penyedia Jasa Keuangan (PJK) juga diminta melakukan Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan terkait Pendanaan Terorisme bagi Penyedia Jasa Keuangan dan Pedoman Identifikasi Produk,Nasabah,Usaha dan Negara yang Berisiko Tinggi bagi PJK sesuai Keputusan Kepala PPATK No. KEP-47/1.02./PPATK/06/2008 2 Juni 2008.
Tujuan • untuk mengatasi loopholes yang ada dalam peraturan yang berkaitan dengan tindak pidana pendanaan terorisme sehingga menjamin kepastian hukum dan ketertiban dalam masyarakat; • untuk mengetahui dan mengatur prosedur dan mekanisme yang jelas upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme melalui pendekatan follow the money namun tidak menghambat kegiatan pengelola jasa keuangan; • untuk memenuhi 40+9 FATF Rec
Kaitan TPPU denganPendanaan Terorisme • Sumber Money Laundering adalah hasil kejahatan (proceeds of crime) • Sumber pendanaan terorisme bisa berasal dari hasil kejahatan (proceeds of crime) maupun kegiatan yang sah (Ref: FATF Money Laundering Typologies Report, 2001-2002) • Menggunakan teknik yang sama untuk menyembunyikan asal-usul sumber dana
Penelusuran Aliran Dana Untuk mengidentifikasi kegiatan pendanaan dan donatur/penyumbang atau yang membiayai kegiatan terorisme Dengan mengikuti uang dapat mengarahkan penyidikan kepada tokoh-tokoh penting dalam kelompok teroris Untuk mengidentifikasi lokasi pelaku dan rencana aksi mereka
YANG DAPAT DITUNJUKKAN OLEH DATA / INFORMASI KEUANGAN Lokasi para pelaku pada suatu waktu Hubungan antar pelaku dlm kelompok dan antara kelompok satu dengan lainnya Keterlibatan pihak lain Pihak yang mengendalikan dana Identitas, nomor telepon dan alamat Aset atau harta yang dimiliki/digunakan Rincian perjalanan
BAGAIMANA PENELUSURAN DILAKUKAN OLEH PPATK? • PPATK, sebagai Financial Intelligence Unit (FIU), memiliki peran terkait assets recovery terutama dengan memberikan informasi intelijen keuangan melalui penelusuran aset (assets tracing) baik pada waktu proses analisis transaksi keuangan, maupun pada saat proses penyidikan, penuntutan dan peradilan. • Penelusuran aset (assets tracing) dilakukan baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
PENELUSURAN ASET DI DALAM NEGERI • Database PPATK yang meliputi: • Lapaoran TKM; • Laporan TKT; • Laporan dari Penyedia Barang dan/atau Jasa, • Laporan Pembawaan Uang Tunai dan Bearer Negotianle Instruments (BNI) Lintas Batas Negara; • Laporan transaksi transfer dana dari dan ke luar negeri serta data lain seperti hasil inquiry ke PJK; • Pertukaran informasi dengan instansi penegak hukum, lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap PJK, lembaga yang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, lembaga lain yang terkait TPPU dan TP lain terkait TPPU; • Kerjasama antara instansi: Sudah ada 41 MoU dengan Instansi terkait, baik Regulator, Penegak Hukum, maupun instansi yang mengelola database dsb.
PENELUSURAN ASET DI LUAR NEGERI • Kerjasama pertukaran informasi dengan memanfaatkan organisasi internasional di bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang baik multilateral (The Egmont Group), regional (APG on Money Laundering), maupun bilateral. • Pertukaran informasi antar FIU. • Saat ini PPATK telah melakukan penandatanganan MoU dengan 38 FIU negara lain.
Tipologi Pendanaan Terorisme Rekening dibuka atas nama pelajar atau tanpa pekerjaan yang jelas yang memiliki pola transaksi di luar profil; Beberapa rekening atas nama berbeda yang memiliki alamat yang sama; Rekening dormant yang aktif kembali dengan adanya incoming transfer dengan nilai yang relatif besar yang kemudian ditarik tunai atau transfer dalam beberapa kali transaksi; Dana yang ditarik segera setelah terdapat setoran (transaksi pass-by), penarikan tunai lewat ATM dengan nilai relatif kecil namun sering, hingga nilai saldo minimal; Peningkatan aktifitas transaksi setelah terjadinya aksi teror;diduga dana digunakan untuk membantu proses kaburnya pelaku; Underlying transactions berupa donasi (ke/dari yayasan, organisasi amal, LSM), hasil penjualan buku, investasi usaha, biaya hidup untuk anggota keluarga; Beberapa wire transfer ke beneficiary yang sama.
Perkembangan Penanganan Kasus • PPATK telah menerima sebanyak 128 Laporan Transaksi Keuangan yang Mencurigakan (Suspicious Transaction Report/STR) yang diduga terkait dengan tindak pidana terorisme (data per 31 Desember 2010). • Laporan tersebut disampaikan oleh Penyedia Jasa Keuangan/PJK kepada PPATK berdasarkan permintaan dari penyidik maupun atas insiatif dari PJK sendiri.
Perkembangan (lanjutan…) • Laporan tersebut menyangkut rekening di PJK yang diduga terkait dengan kasus tindak pidana terorisme. Rekening tersebut dibuka di daerah Palu, Bali, Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Bekasi, Poso, Makassar, Karawang, Solo, dan Pelabuhan Ratu. • Dari kasus-kasus tersebut diketahui, bahwa frekuensi transaksi yang dilakukan cukup tinggi dengan nilai transaksi yang tidak besar, misalnya penarikan melalui ATM dalam jumlah beberapa juta rupiah. Dari pihak kepolisian diperoleh informasi, bahwa dana untuk pembiayaan terorisme dalam jumlah yang besar pada waktu yang lalu dikirim dengan menggunakan kurir.
Perkembangan (lanjutan…) • Hingga Desember 2010, PPATK telah menyerahkan 35 Laporan/Informasi Hasil Analisis terkait Tindak Pidana Terorisme kepada Aparat Penegak Hukum. • Telah ada 2 (dua) putusan pengadilan terkait Pendanaan terorisme an. Tersangka Abud Dujana dan Zarkasih.
Materi Muatan RUU Pada intinya pendanaan terorisme adalah penyediaan dukungan keuangan untuk terorisme baik bagi yang memfasilitasi, merencanakan atau melakukan terorisme. Setiap perbuatan yang dengan sengaja menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau meminjamkan dana yang berasal dari sumber yang sah maupun tidak sah, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang diketahuinya atau patut diduga bahwa dana tersebut akan digunakan, baik keseluruhannya maupun sebagian, untuk melakukan suatu tindak pidana terorisme (Pasal 1 angka 1 RUU Pendanaan Terorisme) Any person commits an offence within the meaning of this Convention if that person by any means, directly or indirectly, unlawfully and wilfully, provides or collects funds with the intention that they should be used or in the knowledge that they are to be used…(Article 2 International Convention for the Suppression of the Financing ofTerorism, 1999
Rumusan Delik • Setiap orang yang dengan sengaja menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau meminjamkan Dana baik langsung maupun tidak langsung dengan maksud akan digunakan atau patut diduga akan digunakanseluruhnya atau sebagian untuk melakukan Tindak pidana terorisme dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000 (Pasal 2). • Setiap orang yang dengan sengajamelakukan percobaan atau pembantuan menyediakan, mengumpulkan, memberikan atau meminjamkan Dana baik langsung maupun tidak langsung, dengan maksud akan digunakan atau patut diduga akan digunakan, seluruhnya atau sebagian untuk melakukan tindak pidana terorisme dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000 (Pasal 3). • Setiap orang yang dengan sengaja, merencanakan, menggerakkan, atau menyuruh orang lain untuk mengumpulkan, memberikan, atau meminjamkan Dana baik langsung atau tidak langsung, dengan maksud akan digunakan atau patut diduga akan digunakan, seluruhnya atau sebagian, untuk melakukan Tindak pidana terorisme dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun (Pasal 4).
Pelaku Korporasi/Organisasi Teroris(Pasal 6) • Dalam hal tindak pidana pendanaan terorisme dilakukan oleh Korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dilakukan terhadap Korporasi, dan/atau Personil Pengendali Korporasi. • Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap Korporasi hanya pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). • Selain pidana denda, terhadap Korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa: - pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan Korporasi; - pencabutan izin usaha dan dinyatakan sebagai Korporasiterlarang; - pembubaran dan pelarangan Korporasi; - perampasan aset Korporasi untuk negara; dan/atau - pengambilalihan Korporasi oleh negara.
Kewajiban Pelaporan Pihak Pelapor (Pasal 9) • Penyedia Jasa Keuangan; • bank; • perusahaan pembiayaan; • perusahaan asuransi dan perusahaan pialang asuransi; • dana pensiun lembaga keuangan; • perusahaan efek; • manajer investasi; • kustodian; • wali amanat; • Lembaga penyimpanan dan penyelesaian • perposan sebagai penyedia jasa giro; • pedagang valuta asing; • penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu; • penyelenggara e-money dan/atau e-wallet; • koperasi yang melakukan kegiatan simpan pinjam; • pegadaian; • perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan berjangka komoditi; • penyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang; atau • Jasa kurir uang tunai. Pihak pelapor selain huruf a ditetapkan dengan Keputusan Kepala PPATK.
Kewajiban Pelaporan (lanjutan..) • Pihak Pelapor wajib menyampaikan laporan transaksi keuangan terkait pendanaan terorisme kepada PPATK paling lambat 3 hari kerja setelah Pihak Pelapor mengetahui adanya transaksi keuangan terkait pendanaan terorisme tersebut (Pasal 16 ayat (1)) • Yang dimaksud dengan Transaksi Keuangan terkait Pendanaan terorisme adalah: (Pasal 1 angka 7) • transaksi yang patut diduga menggunakan dana yang terkait atau berhubungan dengan atau akan digunakan untuk tindak pidana terorisme; • transaksi yang melibatkan Setiap Orang yang berdasarkan publikasi pemerintah atau organisasi internasional dikategorikan sebagai teroris atau organisasi teroris. • Dalam ketentuan ini termasuk dalam “Transaksi Keuangan Terkait Pendanaan Terorisme” antara lain transaksi yang dilakukan Setiap orang atau Korporasi yang berdasarkan publikasi pemerintah atau organisasi internasional yang dikategorikan sebagai teroris atau organisasi teroris misalnya yang tercantum Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1267. (Penjelasan Pasal 16 ayat (1))
Kewajiban Pelaporan (lanjutan..) • Pihak Pelapor yang dengan sengaja melanggar ketentuan pada ayat (1) dikenakan denda administratif paling banyak Rp.1.000.000.000 (satu miliar rupiah) (vide Pasal 16 ayat (2)) • Pelaksanaan kewajiban pelaporan oleh PJK yang berbentuk bank dikecualikan dari ketentuan rahasia bank (Pasal 17)
Pengawasan Kepatuhan • Pengawasan kepatuhan Pihak Pelapor atas kewajiban pelaporan dilakukan oleh PPATK dan Lembaga Pengawas dan Pengatur • Dalam hal Lembaga Pengawas dan Pengatur menemukan adanya transaksi keuangan terkait pendanaan terorisme yang tidak dilaporkan oleh Pihak Pelapor kepada PPATK, Lembaga Pengawas Pengatur segera menyampaikan temuan tersebut kepada PPATK.
Pelaporan CBCC • Setiap orang wajib memberitahukan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terhadap pembawaan uang tunai dalam mata uang Rupiah dan/atau mata uang asing dan/atau instrumen pembayaran lain dalam bentuk antara lain cek, cek perjalanan atau bilyet giro paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau yang nilainya setara dengan itu, ke dalam atau ke luar daerah pabean Indonesia -- Pasal 20 ayat (1) • Direktorat Bea dan Cukai harus membuat laporan mengenai pembawaan tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyampaikan kepada PPATK dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya pemberitahuan -- Pasal 20 ayat (2) • PPATK dapat meminta informasi tambahan dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mengenai pembawaan uang tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) -- Pasal 20 ayat (3)
Pelaporan CBCC (lanjutan…) • Direktorat Jenderal Bea dan Cukai berwenang melakukan penindakan terhadap pembawaan uang tunai atau instrumen pembayaran lain dari dan keluar daerah pabean dengan nilai paling sedikit Rp.100.000.000 atau yang setara ; dan/atau yang terkait dengan tindak pidana terorisme atau berdasarkan publikasi pemerintah atau organisasi internasional dikategorikan sebagai teroris atau organisasi teroris yang berdasarkan bukti permulaan atau informasi dari penegak hukum lain diduga atau terindikasi terkait dengan tindak pidana terorisme (Pasal 22 ayat (1)).
Lembaga Pengawas dan Pengatur(Pasal 10 RUU) • Lembaga Pengawas dan Pengatur berwenang melakukan pengawasan dan pengaturan terhadap Pihak Pelapor dan badan atau lembaga yang melakukan pengumpulan atau penerimaan sumbangan. • Lembaga Pengawas dan pengatur yang berwenang melakukan pengawasan dan pengaturan terhadap badan atau lembaga yang melakukan pengumpulan atau penerimaan sumbangan ditetapkan dengan Keputusan Presiden. • Lembaga Pengawas dan Pengatur wajib menyampaikan Transaksi Keuangan Terkait Pendanaan Terorisme yang dilaporkan oleh badan atau lembaga yang melakukan pengumpulan atau penerimaan sumbangan kepada PPATK. • Badan atau lembaga yang melakukan pengumpulan atau penerimaan sumbangan wajib melaporkan Transaksi Keuangan Terkait Pendanaan Terorisme kepada Lembaga Pengawas dan Pengatur.
Penarapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa • Lembaga Pengawas dan Pengatur menetapkan ketentuan prinsip mengenali Pengguna Jasa (Pasal 11 ayat (1)) • Wajib diterapkan oleh Pihak Pelapor (Pasal 11 ayat (2)) • Kewajiban penerapan mengenali pengguna jasa dilakukan pada saat: • Melakukan hubungan usaha dengan Pengguna Jasa; • Terdapat transaksi dalam mata uang rupiah dan/atau mata uang asing dalam jumlah paling sedikit Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah); • Terdapat Transaksi Keuangan Mencurigakan yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme; atau • Pihak Pelapor meragukan kebenaran Informasi yang dilaporkan Pengguna Jasa (Pasal 11 ayat (3)) • Lembaga Pengawas dan Pengatur wajib melaksanakan pengawasan atas kepatuhan Pihak Pelapor dalam menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa (Pasal 11 ayat (4)) • Prinsip mengenali Pengguna jasa, paling sedikit memuat: Identifikasi, Verifikasi dan Pemantauan transaksi Pengguna Jasa (Pasal 11 ayat (5)) • Dalam hal belum terdapat Lembaga Pengawas dan Pengatur, ketentuan prinsip mengenali Pengguna Jasa dan pengawasannya diatur dengan Peraturan Kepala PPATK (Pasal 11 ayat (6)).
Penundaan Transaksi Pasal 23: • Penyedia jasa keuangan wajib menunda: -transaksi yang melibatkan setiap orang yangberdasarkan publikasiPemerintah atauorganisasiinternasional dikategorikansebagai teroris atau organisasi teroris; - transaksi yang diduga untuk kegiatan terorisme berdasarkan pemberitahuan atau informasi dari penegak hukum atau instansi yang berwenang lainnya • Penundaan Transaksidilakukan paling lama 5 (lima) hari. • Pelaksanaan penundaan Transaksi dicatat dalam BeritaAcaraPenundaaanTransaksi. • Salinan Berita Acara Penundaan Transaksi diberikan kepada Pengguna Jasa. • Penyedia jasa keuangan tidak dapat dituntut oleh pihak manapunbaik secaraperdata maupun pidana dalam pelaksanaan penundaan Transaksi. Pasal 24: • Penundaan Transkasi harus dilaporkan kepada PPATK dengan dilampiri Berita AcaraPenundaan Transaksi dalam waktu paling lama 1 (satu) hari sejak penundaanTransaksi dilakukan. • Dalam hal penundaan Transaksi telah dilakukan sampai dengan hari kelima, penyediajasa keuangan harus memutuskan akan melaksanakan Transaksi atau menolakTransaksi tersebut.
Pemblokiran • Penyedia Jasa Keuangan wajib melaksanakan pembokiran sesaat setelah surat perintah pemblokiran dari PPATK diterima oleh Penyedia Jasa Keuangan. • Penyedia Jasa Keuangan wajib menyerahkan Berita Acara Pelaksanaan Pemblokiran kepada PPATK paling lama 1 (satu) hari terhitung sejak tanggal pelaksanaan pemblokiran. • Dana yang diblokir harus tetap berada pada Penyedia Jasa Keuangan yang melakukan pemblokiran tersebut. • Penyedia Jasa Keuangan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dikenai sanksi administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan. • Pemblokiran dilakukan paling lama 30 hari kerja
Hukum Acara • Hukum Acara (Pasal 28): Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap tindak pidana pendanaan terorisme, dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. • Alat Bukti Dalam Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (Pasal 29) - alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana; dan/atau - Dokumen.
Permintaan Keterangan(Pasal 30) • Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pendaaan terorisme, maka penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang untuk meminta keterangan dari Pihak Pelapor mengenai Dana setiap orang yang diketahui akan digunakan atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan tindak pidana terorisme. • Dalam meminta keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap penyidik, penuntut umum, atau hakim tidak berlaku ketentuan undang-undang yang mengatur tentang rahasia bank dan kerahasiaan Transkasi keuangan lainnya.
Syarat Permintaan Keterangan(Pasal 30) Permintaan keterangan harus diajukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas mengenai: • nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim; • identitas setiap orang yang diketahui atau patut diduga melakukan Tindak Pidana Pendanaan Terorsime, tersangka, atau terdakwa; • tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan • tempat Dana berada. Surat permintaan untuk memperoleh keterangan harus ditandatangani oleh: • Kepala Kepolisian Negara republik Indonesia atau kepala Kepolisian daerah dalam hal permintaan diajukan oleh penyidik; • Jaksa Agung Republik Indonesia atau Kepala Kejaksanaan Tinggi dalam hal permintaan diajukan oleh penuntut umum; • Hakim Ketua Majelis yang memeriksa perkara yang bersangkutan.
Kerjasama (Pasal 31 dan Pasal 32) • Dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pendanaan terorisme, Pemerintah Indonesia dapat melakukan kerjasama dengan pihak-pihak yang terkait, baik dalam lingkup nasional maupun internasional. • Kerjasama dilakukan dalam bentuk kerjasama formal atau berdasarkan hubungan baik atau prinsip resiprositas. • Dalam rangka mencegah dan memberantas Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, dapat dilakukan kerjasama bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan ekstradisi dengan negara lain melalui forum bilateral atau multilateral sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. • Kerjasama bantuan timbal balik dalam masalah pidana (mutual legal assistance) dan ekstradisi dapat dilaksanakan dalam hal negara dimaksud telah mengadakan perjanjian kerjasama bantuan timbal balik dengan negara Republik Indonesia atau berdasarkan prinsip resiprositas.
Status RUU Pendanaan Terorisme • ”Initial draft” dan naskah akademik telah disampaikan oleh Kepala PPATK kepada Menkumham pada tanggal 13 Januari 2010 guna dibahas kembali dalam Tim Penyusun yang dibentuk oleh Menkumham. • Telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2010-2014 dengan No. Urut 223. • RUU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme belum menjadi RUU Prioritas Tahun 2011. • Dalam rangka mendorong penyelesaian RUU ini, pada tanggal 18-20 Feb 2011 di Bogor, PPATK akan menyelenggarakan rapat konsinyering dengan agenda antara lain mengakomodir masukan dan saran yang diperoleh dari kegiatan sosialisasi ini. • Disamping itu, tanggal 22 Feb s/d 3 Maret 2011, beberapa anggota Tim Penyusun RUU ini juga akan melakukan ”study comparative” ke Washington dan New York.
Terima Kasih • www.ppatk.go.id • Email: contact-us@ppatk.go.id • Telp. 021-3862579 (hunting) • Fax. 021-3866337